Laporan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat saham MSCI Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight' menjadi pukulan telak bagi kepercayaan investor terhadap pasar modal Tanah Air.
Keputusan ini bukan hanya sekadar catatan analisis biasa, melainkan refleksi atas pesimisme yang semakin nyata terkait prospek perekonomian Indonesia. Di tengah situasi ini, muncul pula tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap yang menggema di media sosial, menambah nuansa kekhawatiran yang semakin meluas.
Jonathan Garner, Ahli Strategi Morgan Stanley, menjelaskan bahwa melemahnya return on equity (ROE) menjadi salah satu alasan utama di balik keputusan tersebut. ROE yang terus menunjukkan tren penurunan mencerminkan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba yang semakin melemah.
Kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa banyak emiten domestik tengah berjuang di tengah memburuknya lingkungan pertumbuhan ekonomi.
Tak berhenti di situ, lemahnya siklus belanja modal juga menjadi sorotan. Sepanjang tahun 2025, investasi terhadap PDB Indonesia hanya bergerak di kisaran 29%, jauh di bawah rata-rata 32% sebelum pandemi Covid-19.
Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari berkurangnya ekspansi bisnis dan pembangunan infrastruktur yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan jangka panjang. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja pun terhambat, dan pertumbuhan pendapatan masyarakat menjadi stagnan.
Laporan ini langsung berdampak pada pasar. Setelah rilis pada 19 Februari 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung tertekan. Hingga perdagangan sesi pertama pada 25 Februari 2025, IHSG anjlok 2,34% atau minus 158,16 poin ke level 6.591,44. Kapitalisasi pasar pun ikut tergerus ke angka Rp11.387 triliun.
Saham-saham milik konglomerat ternama seperti afiliasi Prajogo Pangestu, Boy Thohir, hingga Happy Hapsoro mengalami koreksi tajam. Misalnya, saham BREN dan CUAN masing-masing turun 3,97% dan 4,05%, sementara saham PTRO milik Prajogo Pangestu bahkan terjun bebas 8,20%. Semoga hari ini (26/02/2025) saham-saham tersebut dan IHSG tidak turun lagi.
Di tengah gejolak ini, tagar #KaburAjaDulu menjadi cerminan kekhawatiran publik. Tagar ini bukan sekadar guyonan, melainkan ungkapan keresahan akan kondisi ekonomi dan iklim investasi yang dianggap semakin tidak kondusif.
Banyak kalangan menengah ke atas dan pelaku bisnis mulai mempertimbangkan opsi untuk memindahkan aset atau mencari peluang di luar negeri, seiring ketidakpastian yang kian meluas.
Tagar #IndonesiaGelap menambah dimensi baru pada kekhawatiran ini. Bukan hanya soal pasar modal, tetapi juga refleksi atas ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi infrastruktur, layanan publik, dan prospek pertumbuhan jangka panjang.
Kombinasi dari sentimen pesimistis ini memperburuk persepsi global terhadap stabilitas dan daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi.
Namun, di tengah badai ini, peluang tetap ada bagi mereka yang jeli. Strategi yang tepat menjadi kunci untuk bertahan dan bahkan meraih keuntungan di tengah ketidakpastian.
Memilih saham defensif di sektor konsumsi primer, kesehatan, dan telekomunikasi bisa menjadi langkah bijak, mengingat sektor-sektor ini cenderung stabil meski dalam kondisi ekonomi yang sulit. Selain itu, koreksi pasar juga bisa menjadi momentum untuk mengakumulasi saham berfundamental kuat dengan valuasi yang lebih menarik.