Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen: Sederet Doa di Halte yang Terlupakan

25 November 2023   07:29 Diperbarui: 25 November 2023   18:14 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, di era ketika koran-koran masih menjadi teman setia pagi-pagi di Jakarta, terjalinlah kisah yang sederhana namun penuh makna di bawah jembatan penyeberangan di tengah kota.

Saat itu, sebagai seorang manajer yunior di sebuah bank nasional, setiap pagi aku menyeberang jembatan dari tempat tinggalku menuju kantor di seberangnya. Di halte bus di bawah jembatan itu, aku sering melihat seorang bapak tua dengan barang-barang bekas yang selalu ia kumpulkan.

Botol plastik, kardus bekas, dan koran-koran usang membentuk latar belakang kesehariannya. Meski rumahnya berada di pinggiran kota Jakarta, semangatnya untuk pergi ke pusat kota Jakarta demi mencari rezeki tetap tak tergoyahkan.

Setiap pagi, duduk di halte bus, bapak tua itu tenggelam dalam dunia koran-koran bekas. Meski berita yang terpampang di halamannya sudah usang, namun matanya selalu berbinar membaca setiap kata dengan penuh antusias.

Suatu pagi, aku memutuskan untuk mendekatinya, ingin memahami lebih dalam kehidupan sederhananya yang penuh perjuangan.

Wajahnya yang bersahaja dan matanya yang penuh kearifan membuka pintu ke dalam kehidupannya. Kami berbincang sejenak, dan dalam percakapan ringan itu, aku menyadari bahwa keberadaannya tidak sekadar mengumpulkan barang bekas. Ia adalah pahlawan sejati yang setiap hari menembus kemacetan Jakarta untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

"Semua ini aku lakukan demi mereka," ucapnya dengan mata yang berkilat oleh kebulatan tekad. Sederet doa yang terhanyut lembut dari bibirnya menembus ruang antara kita, menyentuh hatiku dengan sentuhan keikhlasan yang meresapi ruang sekitarnya.

Saat itulah, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu membutuhkan panggung megah yang bersinar terang. Terkadang, keajaiban terbesar tersembunyi di belakang panggung kehidupan yang sering kali terlupakan. Sebagaimana peristiwa ini yang tersembunyi di balik punggung halte bus yang terlupakan.

Dengan hati-hati, aku menyodorkan sebagian rezekiku kepada bapak tua itu. Itu adalah bentuk penghargaan, sebuah pengakuan akan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan. Terima kasih yang terucap dari bibirnya bukan hanya kata-kata biasa; itu adalah syukur yang tulus dari hati yang telah merasakan getirnya hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun