Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ternyata, Kesehatan Mental Pekerja di Asia di Atas Rata-rata Masalah Global

12 Oktober 2022   09:13 Diperbarui: 12 Oktober 2022   09:21 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini para pekerja di seluruh dunia menjadi lebih stres dari sebelumnya, mengalami tingkat kesehatan mental yang buruk dan kelelahan bekerja (burnout). Para pekerja merasakan tekanan dan terpukul keras oleh pandemic. Mereka tidak hanya harus mengelola kecemasan kesehatan dan pembatasan COVID-19, tetapi juga peningkatan beban kerja dan ketidakpastian pekerjaan.

Penelitian McKinsey Health Institute terbaru tentang kesehatan mental di tempat kerja menemukan satu dari empat pekerja di seluruh dunia mengalami gejala kelelahan. Di Kawasan Asia, angka itu bahkan lebih tinggi yakni mendekati satu dari tiga. Karyawan wanita dan pekerja garis depan di wilayah Asia melaporkan tingkat kelelahan, gejala depresi, dan kesusahan yang lebih tinggi daripada rekan-rekan global mereka (bersama dengan tingkat gejala depresi dan kesusahan yang lebih tinggi daripada karyawan pria, sebuah fenomena umum di seluruh dunia). Banyaknya pekerja yang melaporkan gejala depresi dan kecemasan, jelas bahwa tantangan tempat kerja yang nyata dan mendesak dihadapi di wilayah Asia, termasuk Indonesia.

Menurut laporan Forbes, wilayah Asia-Pasifik sangat menarik dalam hal kesehatan mental. Sebuah studi tentang depresi dan produktivitas tempat kerja menunjukkan bahwa "rata-rata biaya per orang per tahun untuk ketidakhadiran adalah yang terendah di Korea Selatan dan tertinggi di Jepang." Namun, secara keseluruhan, banyak bukti yang menunjukan bahwa pekerja di tidak sehat secara mental, terutama sejak pandemi melanda dunia.

Sebuah survei yang dilakukan oleh City Mental Health Alliance pada September 2020 menunjukkan bahwa 1 dari 4 pekerja di Hong Kong mengalami masalah kesehatan mental dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, Association of Small & Medium Enterprises (ASME) melaporkan di Singapura pada Oktober 2020 terdapat "86,5% orang yang bekerja tidak mencari bantuan untuk kesehatan mental di Singapura karena stigma di sekitarnya."

Dalam ulasannya, Forbes terkait hal tersebut menyampaikan bahwa pengusaha yang ingin mendukung karyawan di Asia harus mengingat dua masalah yang terkait dengan konteks sosial dan budaya kawasan: stigma dan kerja berlebihan.

Walaupun Indonesia tidak termasuk negara yang disurvei, tapi rasanya bukan berarti para pekerja di Indonesia tidak mengalami hal yang dirasakan rekan-rekanny di negara lain. Sebuah survei singkat oleh Tempo.co menemukan bahwa 72,4 persen dari 2.700 pembaca yang berpartisipasi dalam survei tersebut mengaku memiliki masalah kesehatan mental. 

Sejalan dengan hasil survei Tempo tersebut, Kementerian Kesehatan RI juga mencatat pada tahun 2020, 18.000 orang mengalami gangguan jiwa, 23.000 menderita depresi, dan 1.163 percobaan bunuh diri. Oleh karena itu, pemerintah telah memberikan layanan telemedicine melalui aplikasi bernama Sehat Jiwa, di mana pekerja dapat melakukan konsultasi dan konseling gratis untuk mengatasi stres di tempat kerja. Di samping itu, terjadi pula peningkatan kasus kecemasan 6,8% dan depresi 8,5%. 

Dengan demikian, dampak dari stresor tersebut sekarang terlihat dan khususnya di Asia, di mana tingkat kelelahan lebih tinggi daripada norma global. Dan tidak menutup kemunkinan di Indonesia terjadi hal yang serupa dalam jumlah yang signifikan.

Stigma yang dihadapi oleh para pekerja dengan penyakit mental sangat lazim di negara-negara Asia dan bertindak sebagai penghalang utama untuk pemanfaatan layanan kesehatan mental. Stigma secara langsung terkait dengan pengetahuan kesehatan mental yang terbatas di kalangan pekerja. Dan hal ini, sebenarnya merupakan area di mana pemberi kerja dapat memainkan peran penting.

Kesadaran masyarakat yang rendah, termasuk para pekerja, seperti dalam kasus China dan Hong Kong, di mana responden survei melaporkan tidak pernah menerima pendidikan tentang kesehatan mental dan hanya mengetahui sedikit tentang penyebab, pengobatan, dan pencegahannya. Selain itu, menurut sebuah studi tahun 2019 dari Oliver Wyman-City Mental Health Alliance 92%, responden percaya bahwa pemberi kerja tidak menyediakan sumber daya yang cukup untuk mendukung kesejahteraan staf di Hong Kong.

Agar kondisi kesehatan mental para pekerja tidak semakin turun, pengusaha harus memeriksa tingkat kesadaran kesehatan mental di setiap unit bisnisnya dan menekankan metode pendidikan, pelatihan staf, dan aksesibilitas sumber daya. Di satu sisi, Pengusaha Asia menghadapi kesulitan unik seputar stigma mengingat keterkaitan nilai-nilai keluarga dan budaya tempat kerja.

Sistem kepercayaan tradisional yang menghubungkan penyakit mental dengan "kurangnya ketahanan, kegagalan pengendalian diri, atau kurangnya dukungan keluarga" membuat kurangnya pemanfaatan layanan kesehatan mental. Pekerja jarang berpikir bahwa ketidakseimbangan kimia, trauma, atau faktor lain yang mempengaruhinya, tidak perlu membawa rasa malu untuk memanfaatkan layanan kesehatan mental.

Stigma mungkin secara khusus diperparah oleh norma budaya di Asia tentang "wajah" yang tidak mendorong pengungkapan emosi secara terbuka. Misalnya, dalam survei tahun 2020 di Singapura, hampir 90 persen karyawan mengindikasikan bahwa mereka tidak akan mencari bantuan untuk kondisi kesehatan mental karena stigma.7 (Garen Staglin, "Tantangan bagi pemberi kerja di Asia--Pasifik: Stigma dan kerja berlebihan ," Forbes, 9 Februari 2021.)

Keterbukaan yang kurang juga dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan ketika harus mengungkapkan tantangan kesehatan mental kepada manajer. Melatih staf untuk mengenali tanda-tanda tekanan mental dan menawarkan cara untuk campur tangan secara diam-diam bisa menjadi pendekatan yang efektif untuk memberikan dukungan sambil tetap peka terhadap norma-norma budaya yang penting.

Berdasarkan pengalaman dan analisis survei McKinsey, tiga pertanyaan telah muncul sebagai yang paling penting untuk dijawab oleh para pemimpin di kawasan ini. Bagaimana organisasi mengatasi perilaku beracun di tempat kerja? Bagaimana para pemimpin menyediakan sumber daya yang tepat untuk melayani kebutuhan karyawan? Dan terakhir, bagaimana para pemimpin meningkatkan pengukuran dan kemampuan mendengarkan organisasi?

Untuk itu, sudah saatnya para pengusaha dan eksekutif perusahaan harus mulai menciptakan tempat kerja di mana para pekerja bisa berkembang dengan tiga tindakan utama berikut:

  • Mengatasi perilaku beracun secara efektif: Ambil langkah berani dan tidak nyaman untuk melihat secara jujur perilaku beracun di tempat kerja;
  • Sumber daya yang tepat untuk melayani kebutuhan pekerja: Gabungkan dukungan tingkat dasar dan yang disesuaikan untuk insan perusahaan;
  • Peningkatan pengukuran dan kemampuan mendengarkan organisasi: Tingkatkan kualitas pengukuran dan ambil tindakan holistik.

Dengan melakukan tiga tindakan di atas, akan menunjukkan bahwa inilah saatnya bagi para eksekutif perusahan sebagai pemimpin untuk mengatasi kelelahan dan kesehatan mental karyawan dengan menciptakan lingkungan di mana insan perusahaan makmur dan ingin tetap tinggal untuk bekerja sehingga tidak pergi ke tempat lain.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun