Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menikah Melalui Pacaran atau Tanpa Pacaran?

16 Januari 2022   06:30 Diperbarui: 16 Januari 2022   08:25 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image capt: Pengantin era 50'an (Koleksi Merza Gamal)

Riset Keterkaitan Menikah Melalui Tahapan Pacaran dan Tanpa Pacaran

Sebuah tulisan lama Merza Gamal di tahun 2010'an,

Sebuah studi yang dilakukan oleh Gupta & Singh (2007) membandingkan cinta romantis antara orang-orang yang menikah karena cinta, dijodohkan, dan hidup bersama tanpa nikah, selang mereka hidup bersama selama sepuluh tahun. Menurut studi tersebut, cinta romantis yang biasanya terjadi pada pasangan yang berpacaran sebelum menikah akan berkurang setelah pasangan tersebut menikah.

Beberapa hal yang menyebabkan hal ini adalah masing-masing pasangan pada saat berpacaran mengagumi pasangannya dan meminimalisasi hal-hal yang kurang pada diri pasangan. Akan tetapi setelah menikah, mereka baru mengalami realita kehidupan, fantasi hilang, tidak ada lagi atau menurun perasaan cinta romantis. Selanjutnya adalah hal baru.

Pengalaman baru dalam menjalin cinta menimbulkan semangat dalam cinta romantis. Jikalau hal-hal baru ini sudah tidak ada, maka cinta romantis akan berkurang. Terakhir adalah adanya penurunan arousal, yang mengakibatkan menurunnya frekuensi berhubungan seks.

Dari studi tersebut, dapat ditarik bahwa terbukti pacaran hanya akan mengurangi kepuasan menikah pada saat pasangan tersebut menjalani kehidupan besama. Hal-hal seperti fantasi, hal-hal baru dan arousal hanya akan terdapat pada pasangan yang menikah tanpa berpacaran. Alasan ini semakin memperkuat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pacaran memang tidak diperlukan, bahkan cenderung merugikan pernikahan itu sendiri. Bahkan "cinta" yang menyebabkan pasangan menikah seringkali beda dengan "cinta" yang membuat pasangan tetap saling mencintai.

Berkebalikan dengan studi tersebut, studi tentang manajemen konfllik rumahtangga yang dilakukan Blood (1969) menyatakan bahwa pacaran itu dibutuhkan sebelum pernikahan. Blood mengatakan "courtship is the entire process that leads up to marriage". Dalam hal ini, Blood mengatakan bahwa ada suatu proses untuk menuju suatu pernikahan dan itu dinamakan sebagai proses courtship. Masa courtship ini sangat penting untuk dioptimalkan dengan baik. 

Menurut studi ini, fenomena cerai sebagian besar disebabkan oleh kegagalan dalam masa courtship (pacaran). Kebanyakan pasangan yang pada akhirnya memutuskan untuk bercerai disebabkan pengalaman courtship yang tidak dimanfaatkan secara baik. Dengan kata lain, bahwa seseorang yang tidak mengoptimalkan masa courtship atau bahkan tidak sama sekali mengalami masa courtship (menikah tanpa pacaran) dikatakan akan mengalami banyak konflik. Akhir dari manajemen konflik yang kurang baik dalam rumah tangga adalah perceraian.

Studi Blood yang menyatakan bahwa perceraian disebabkan karena menikah tanpa pacaran, dibantah oleh temuan Musaddad (2005). Musaddad meneliti tentang gambaran konflik dan manajemen konflik pada pasangan yang menikah tanpa pacaran. Hasil studi Musaddad menunjukkan bahwa walaupun partisipan menikah tanpa pacaran, mereka tetap bisa melakukan manajemen konflik dengan cukup baik. Studi tersebut menyatakan bahwa partisipan mempunyai komitmen untuk mempertahankan pernikahan yang tinggi, sehingga mereka mampu mempertahankan pernikahan mereka sampai melewati masa krisis perceraian dalam suatu pernikahan. 

Komitmen partisipannya tersebut terbangun atas dasar pemahaman agama yang dipahami oleh pasangan itu. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa yang mampu mempertahankan pernikahan bukanlah proses pembelajaran manajemen konflik pada saat berpacaran, tetapi komitmen untuk mempertahankan pernikahan, dan ditambah adanya keinginan untuk mempelajari manajemen konflik yang lebih lagi pada saat menjalani pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun