Malam itu, setelah makan malam, aku duduk bersama ibuku di dapur. Aku menceritakan semuanya. Tentang bisikan yang kudengar, tentang tatapan Bibi Suri yang menghancurkan hatiku.
"Selama ini aku lari, Nde. Aku kira dengan pergi, semua akan baik-baik saja," kataku, air mataku akhirnya tumpah. "Tapi Bibi... dia tidak bisa pergi. Dia terjebak di hari itu."
Ibuku menghela napas panjang. Ia menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan, campuran antara iba dan khawatir. "Lalu, apa rencanamu?"
Aku menatapnya dengan tekad yang baru saja kutemukan di tengah keputusasaan. Tekad yang lahir dari rasa bersalah dan keinginan untuk menebus waktu.
"Aku harus membantunya, Nde. Aku mau coba... 'memanggil' Tima. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya dan Loma."
Ibu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Akan kubantu siapkan apa yang perlu. Tapi kau harus ingat, Nak. Membuka pintu ke sana, belum tentu kau bisa menutupnya kembali dengan mudah."
Malam itu, di bawah temaram lampu minyak, kami menyiapkan beberapa lembar daun sirih, kapur, dan buah pinang. Sebuah ritual sederhana untuk sebuah misteri yang begitu kelam. Malam ini, setelah sepuluh tahun membungkam, aku akan membuka pintu itu lagi. Apa pun yang menanti di seberang sana, aku harus menghadapinya.
Demi Tima. Demi Loma. Dan demi seorang ibu yang lupa cara untuk hidup.
Aku duduk bersila di atas tikar pandan, berhadapan dengan ibuku. Di tanganku sudah ada gulungan belo—campuran daun sirih, kapur, dan pinang yang disiapkannya. Rasanya pahit dan getir saat mulai kukunyah, persis seperti kenangan yang akan kupanggil kembali. Aku memejamkan mata, memusatkan pikiranku. Tepat sebelum aku benar-benar tenggelam dalam konsentrasi, tangan ibu menahan bahuku. Aku membuka mata. Ia menatapku dengan tatapan paling serius yang pernah kulihat.
"Ingat," bisiknya tajam. "Jika ada suara lain yang bertanya, siapa pun itu, jangan pernah kau jawab. Panggil nama Tima, dan hanya dengarkan jawaban dari Tima."
Peringatan itu terasa seperti hawa dingin yang merambat di punggungku. Aku tidak bertanya lebih jauh. Aku hanya mengangguk, lalu kembali memejamkan mata, membiarkan kegelapan dan rasa pahit di mulutku menjadi gerbang menuju dunia mereka.