Tubuhnya kurus kering, rambutnya yang memutih digelung seadanya. Tatapannya kosong, menembus pepohonan di seberang jalan. Ia tidak menyadari kedatanganku sampai aku berdiri tepat di depannya.
"Bibi..." sapaku pelan.
Ia mengerjap, matanya yang cekung butuh beberapa saat untuk fokus. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. "Oh, kau rupanya. Sudah besar kau sekarang," katanya, suaranya serak dan jarang. "Kau lihat Tima? Atau Loma? Sebentar lagi senja, mereka belum pulang dari sekolah."
Dadaku terasa sesak. Sepuluh tahun baginya hanyalah satu sore yang tak kunjung berakhir.
"Mereka... sebentar lagi pulang, Bi," hanya itu kalimat yang sanggup keluar dari mulutku. Sebuah kebohongan kecil untuk menenangkan hatinya.
Aku duduk di sampingnya, hanya diam menemaninya memandang kekosongan. Tiba-tiba, ia menoleh dan meraih tanganku. Genggamannya terasa lemah, tapi dinginnya menembus sampai ke tulang.
"Kau sahabatnya Tima, kan?" bisiknya, kali ini matanya tampak jernih, seolah ia baru saja kembali dari tempat yang sangat jauh.Â
"Kau tahu... di sungai di bawah jembatan itu dingin sekali, nak. Sangat dingin..."
Tepat saat ia mengucapkan kalimat itu, sebuah embusan angin dingin menerpa tengkukku, padahal hari tidak berangin. Dan bersama angin itu, sebuah suara berdesir tepat di telingaku. Suara yang kukenal, suara Tima.
"Nande..."
Aku terlonjak kaget, refleks menarik tanganku. Bibi Suri kembali ke dunianya yang linglung, sementara aku berusaha mengatur napas. Kemampuan yang selama ini kutekan, yang kuanggap hanya imajinasi masa kecil, kini terasa begitu nyata. Tima ada di sini. Atau setidaknya, sebagian dari dirinya.