Sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah luka, tapi tidak cukup lama untuk sebuah rahasia. Selama itu pula aku membangun hidup baru di Kota Medan, berusaha menimbun kenangan tentang Titi Dorek di bawah tumpukan tugas kuliah dan hiruk pikuk kota. Aku berhasil—atau setidaknya, aku meyakinkan diriku begitu. Orang tuaku melarangku pulang ke Kutambaru sendirian, takut jika kepingan masa lalu itu kembali menghantuiku. Aku menurut. Mungkin karena aku juga takut pada diriku sendiri.
Tapi kau tahu, sejauh apa pun kau berlari, kampung halaman punya cara sendiri untuk memanggilmu pulang.
Panggilan itu datang melalui telepon genggamku pada suatu Selasa sore. Nama "Nande-ku" tertera di layar. Biasanya kami hanya bertukar pesan singkat, jadi sebuah panggilan telepon selalu berarti ada sesuatu yang penting.
"Nak, pulanglah sebentar kalau ada waktu," suara Ibuku terdengar lebih lelah dari biasanya.
"Kenapa, Nde? sakit kam?" tanyaku, jantungku mulai berdebar lebih cepat.
"Bukan, Nak-ku. Tapi Bibi-mu... Ibunya si Tima. Makin parah dia, nak. Seharian ini dia cuma duduk di teras, memanggil nama Tima dan Loma, seolah mereka akan pulang untuk makan malam."
Sebuah jeda panjang menggantung di antara kami. Aku menelan ludah, kerongkonganku terasa kering. Nama-nama itu, meski selalu ada di benakku, terasa berbeda saat diucapkan. Terasa lebih berat, lebih nyata.
"Aku... aku usahakan akhir pekan ini, Nde," jawabku lirih.
Perjalanan dari Medan ke Kutambaru terasa seperti perjalanan menembus waktu. Semakin jauh bus melaju, semakin rimbun pohon-pohon di tepi jalan, dan semakin riuh pula suara-suara di kepalaku. Aku melihat wajah Tima di pantulan kaca jendela, tertawa seperti yang selalu kuingat. Lalu bayangan Loma yang berjalan gontai, menatap kosong, melintasi jembatan. Aku memejamkan mata, tapi bayangan itu sudah terlanjur terpatri di sana.
Setibanya di kampung, aku tidak langsung pulang. Kakiku seolah bergerak sendiri menuju rumah Tima. Rumah panggung sederhana itu kini tampak lebih kusam, catnya mengelupas di sana-sini. Dan benar saja, di teras depan, di sebuah kursi tua, duduk seorang wanita yang hanya menyisakan separuh dari dirinya yang dulu.
Bibi Suri, ibunya Tima.