Mohon tunggu...
Merlina
Merlina Mohon Tunggu... Operator - Operator Sekolah

Saya sudah menulis sejak 13tahun. Hobi saya berenang meskipun masih tertatih. Saya tertarik dengan fiksi dan ingin mencoba meluaskan ketertarikan pada non fiksi melalui kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arza dan Kopi Bibik

7 Desember 2022   11:00 Diperbarui: 8 Desember 2022   15:11 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sesuatu yang menarik dari minuman satu ini. Rasanya, hmm… sulit diungkapkan dengan kata. Aku pertama kali meminumnya ketika usiaku genap 10 tahun, dan yang ku rasakan ingin lagi, lagi, dan lagi. Itu dia secangkir kopi panas nikmat yang selalu menemani hari-hariku terutama di waktu mentari baru tersenyum dari persembunyiannya semalam.
            “Ini Non, kopinya. Hati-hati masih panas!” suara cangkir kopi bergesekan dengan piring kecil, sebuah nada yang indah.
            “Iya Bik, tenang saja. Aku sudah terbiasa.” Kataku sebelum menghirup kopi nikmat di hadapanku. Bibik memandangiku dengan lengkungan bibir yang masih membentuk seutas senyuman hangat. Aku balas memandanginya. Terlihat jelas keriput-keriput yang terdapat pada pelipisnya, rambutnya juga mulai memutih. Aku tersadar telah berapa lama pengorbanan yang Bibik berikan pada ku dan keluargaku.
            “Bibik mau?”
            “Tidak, Non. Terimakasih. Jika Bibik mau Bibik bisa membuatnya nanti di dapur.” Jawabnya tersipu.
            “Ayolah Bik, kemari duduk bersamaku dan nikmati enaknya kopi buatan Bibik ini. Sekaligus kita pandangi kolam ikan yang jernih ini!” seruku mengajak Bibik. Bibik masih menatapku dengan matanya yang sayu lalu mengangguk.
            “Bik… Kenapa kau belum menikah sampai saat ini?” tanyaku polos.
            “Entahlah Non, Bibik mungkin terlalu sayang pada keluarga ini sampai Bibik tidak memikirkan orang lain, bahkan diri Bibik sendiri.”
            “Hmm…” aku masih menghirup kopi yang sisa sedikit itu. Mungkin dengan sekali teguk kopi itu akan langsung habis. Tapi aku menghirupnya pelan-pelan.
Aku berpikir, bagaimana jika Bibik pergi meninggalkan aku. Tidak ada satupun orang di dunia ini—ku rasa—yang dapat membuat kopi senikmat buatan Bibik. Tiba-tiba aku merasa takut, bahkan sangat takut. Kalau-kalau aku tak bisa lagi melihat senyum keriput, pandangan hangat, serta secangkir kopi nikmat ini. Ah…
***
Arza. Pria yang sangat membenci kopi. Bisa dibilang kami sangat bertolak belakang. Arza tidak pernah mengatakan alasan mengapa dia sangat tidak suka pada minuman hitam yang satu ini. Tapi bersamanya, aku bisa merasakan nikmatnya saat aku menghirup kopi. Aneh memang, tapi inilah yang ku rasakan.
Sama seperti kopi, sangat sulit untuk melukiskan rasaku pada Arza. Ada rasa kenyamanan luarbiasa saat dia memandangku. Sorot matanya tajam, seperti mata elang, tapi menurutku lebih indah. Garis wajahnya benar-benar sempurna. Ah! Tapi bukan itu yang membuat degup jantungku selalu hampir melompat ketika berada di dekatnya. Rasa itu datang begitu saja tanpa aku undang apalagi memintanya. Tidak pernah.

Kami berhubungan hanya sebatas teman dekat, aku tidak tahu bagaimana tepatnya perasaan Arza padaku. Tapi, menurut feelingku, Arza tidak memiliki rasa yang spesial untukku sejauh ini. Pertama kali kami bertemu ketika aku sedang menikmati secangkir kopi—yang sebenarnya tidak senikmat kopi buatan Bibik— di suatu kafe hanya untuk sekadar menghangatkan tubuh yang kedinginan akibat hujan lebat beserta angin saat itu. Sore itu, kafe sangat ramai oleh pengunjung, ada seorang pria yang baru saja masuk ke dalam kafe dan tidak menemukan tempat duduk kosong. Dan pada saat itu hanya akulah yang duduk seorang diri dalam kafe tersebut. Pria itupun meminta izin untuk duduk bersamaku, aku pun mengangguk.

Arza begitu lembut, perhatian, dan penyayang. Tapi sayangnya, semua sifat itu dia lampiaskan bukan padaku melainkan kekasihnya. Semenjak arza memiliki pacar dia tak lagi sering menghubungiku. Bahkan kita sangat jarang bertemu di kampus meskipun kita satu fakultas. Aku yakin dia sedang sibuk. Yah, tentu saja sibuk bersama pacarnya. Dan Aku masih dengan diriku yang mencintai kopi. Aku pikir di dunia ini tidak ada yang lebih baik dari secangkir kopi buatan Bibik. Hasil kreasi maha dahsyat yang mampu membuatku merasa nyaman, tenang dan terlindungi. Aku merindukannya.
Bibik memang masih disini. Tapi apa daya kalau raganya tak nyata. Yang nyata hanyalah perasaan sayangku padanya. Dan canduku pada kopi yang masih melekat sampai detik ini.
Ponselku berdering, pesan masuk dari Arza. Aku terlonjak kaget, ada perasaan yang menguar dalam dada, semacam perasaan bahagia—ku rasa. Ternyata hanya berisi “Selamat Hari Kopi Sedunia!” begitu pesan yang diketiknya. Aku langsung lemas. Hmm… ponselku kembali berdering sangat nyaring di tengah-tengah kesunyian yang ku rasakan. Dengan malas aku berjalan ke ranjang kemudian menghempaskan tubuhku dan tertidur…
***
“Na, kenapa telfon dari aku kemarin sore gak diangkat? Sms juga gak dibalas?” tiba-tiba dia dengan sejuta pesonanya telah berada tepat di hadapanku dengan membawa sekotak coklat… rasa kopi!
“Kemarin aku ketiduran, terus lupa ngecek handphone.” Suaraku terdengar sangat lesu dan lemas. Aduuuh!
“Hmm… gitu! Ya udah gak papa. Aku pergi dulu yah!” loh… aku pikir coklat itu untukku, tapi aku sadar kini dia punya seseorang yang lebih penting daripada aku. Hmm… dan ku rasa aku memang tidak pernah menjadi seseorang yang penting dalam hidupnya. Tak berarti!
Mencintaimu itu seperti minum kopi…
terasa pahit, panas…
Tapi setelah itu nikmat,
hangat dan menyisakan rasa candu karena merindu…
Jujur aku merindukannya! Aku igin merasakannya, aku ingin lagi dan lagi. Tapi dia pergi meninggalkanku, entah… mungkin takkan pernah kembali. Aku tersiksa! Kebahagiaan yang ku rasa harus direnggut sekaligus. Kenyamanan di dekat Arza dan kenikmatan kopi Bibik. Menyisakan duka yang mendalam!
***
            “Hmmm…!” suara dehaman itu mengejutkanku. Membuyarkan lamunanku sedari tadi.
            “Ada apa?” ucapku malas. Pandanganku yang tak focus tak berani untuk sekadar menatap wajahnya.
            “Ini untukmu!” tuturnya sambil menyodorkan sekotak coklat rasa kopi yang tadi pagi kulihat.
            “Kau bercanda!”
            “Betul sekali. Aku akan memberikannya pada Chintya nanti.” Hatiku sakit mendengarnya.
            “Aku sudah putus dengan Chintya!”
            “Hah!?” aku terkejut. Ada perasaan senang dan sedih yang campur aduk. Senang karena akan ada sedikit harapan untukku. Dan sedih karena melihatnya terlihat murung.
            “Kenapa kamu terkejut. Setiap orang yang menjalin hubungan mungkin saja akan putus hubungan tersebut.”
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
“Argh…! Aku sudah lelah denganmu! Baiklah aku saja yang memulai, daripada harus terus berpura-pura seperti ini.”
Aku hanya menatapnya bingung, tak mengerti dan terus mendengarkan ocehannya.
“AKU MENCINTAIMU!”
DEG! Jantungku berpacu cepat! Apa maksud dri ucapannya? Berteriak seperti itu di taman kampus yang sesak dipenuhi muda-mudi ini.
“Apa maksud kamu?”
“Hehehe… hanya bercanda!” ucapnya santai. Sedang aku segera menunduk berusaha menata hati agar air mata yang menggantung ini tidak tumpah dalam sekejap.
Za… kamu sempurna berhasil buat hatiku runtuh!
***
            Hari-hari ku jalani dengan sebagaimana mestinya sebelum bertemu dengan Arza. Pergi kuliah di pagi hari. Ke toko buku, jalan-jalan di taman, pulang ke rumah sore hari, masuk ke kamar dan meminum pil tidur lalu tidur dan terbangun di pagi yang suram bagi diriku. Tanpa keluarga, tanpa Bibik, tanpa kopi, tanpa Arza, dan tanpa cinta.
            Kau percaya akan cinta sejati? Hmmm… aku belum bisa untuk percaya. Aku merasa bodoh karena telah kecanduan dengan sangat pada kopi Bibik. Aku merasa hina karena telah jatuh cinta dengan sangat pada Arza. Dan aku merasa pedih karena telah hidup menderita dengan sangat tanpa cinta.
            Aku mengambil seutas tali panjang yang telah ku gantungkan di tiang balkon. Kemudian menatap bulan yang bersinar cerah sambil berucap, Selamat tinggal…

#18Maret2014

#artikel ini sudah pernah tayang di wattpad nathan apikarie 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun