04-Seleksi Calon Pacar
"Bakmienya, Ko!" seru pelayan yang juga pemilik rumah makan kecil itu sambil tersenyum ramah. Aroma kaldu mengepul bersama udara hangat yang mengepul dari mangkuk. Asapnya menari pelan, seolah ikut merayakan momen kecil yang berarti besar bagi Otong.
Otong dan Bavik duduk berhadapan, di bangku kayu tua yang sering diduduki para pasangan muda yang sekadar ingin menghangatkan malam dengan semangkuk mie dan tawa seadanya. Tapi tidak bagi Otong. Malam ini, semangkuk bakmie terasa seperti kesempatan terakhir untuk duduk bersama Bavik---gadis yang diam-diam telah menggetarkan relung hatinya sejak pertama kali melihat tawa gadis itu memantul di dinding kelas.
Mereka mengucapkan doa singkat. Suara Bavik pelan, seperti bisikan angin, sementara Otong menunduk khusyuk, menyebut nama Tuhan dengan suara batin yang juga menyisipkan satu harapan: "Biarlah waktu berhenti malam ini. Biarlah aku hanya duduk bersamanya, selama dunia ini bisa menanggungnya."
Begitu doa usai, Otong segera mengambil sumpit. Dengan lincah dan tenang, ia mulai memutar mie, mengangkatnya dalam gerakan presisi, lalu menyuapkannya ke mulut. Bavik melongo kecil, matanya membulat karena heran.
"Lho, kamu jago juga, ya, pakai sumpit gitu?" tanyanya dengan tawa yang tertahan. Suara tawa itu seperti lonceng kecil yang berdenting di dada Otong.
Otong tersipu, tapi mencoba tetap tenang. "Dulu waktu di pesantren, ada guru yang ngajarin. Katanya, biar bisa makan mie apapun, di mana pun," jawabnya sambil tersenyum.
Bavik mencoba ikut-ikutan, mengambil sumpit yang disediakan, mencoba menjepit mie yang licin berkilau oleh minyak wijen. Tapi baru beberapa detik, sumpitnya lepas. Mie yang hendak diangkat terjun bebas kembali ke dalam mangkuk, memercikkan kuah sedikit ke bajunya.
"Aduh!" serunya. Otong nyaris tertawa, tapi buru-buru menahan diri.
"Ya ampun, susah banget! Ini sumpit atau senjata rahasia sih?" keluh Bavik, lalu menghela napas kecil. Akhirnya, dia mengambil sendok dan garpu yang tersedia.
"Boleh juga sih kamu jago begitu. Tapi aku nyerah deh. Nanti malah bajuku belepotan semua," katanya dengan cemberut lucu.
Otong tertawa kecil. Ada tawa di antara suapan, ada kehangatan yang menggulung pelan di udara. Tapi di balik semua itu, ada luka yang diam-diam merayap dalam dada Otong.
Ia tahu, momen ini tidak akan terulang. Bavik bukan miliknya. Bahkan mungkin, tidak pernah akan jadi miliknya. Dia tahu bahwa Bavik punya dunia sendiri, lingkaran pergaulan yang berbeda, impian yang jauh lebih tinggi. Sedangkan Otong? Dia hanyalah mahasiswa biasa, anak kampung yang numpang hidup di kota, dengan segenap doa dan kerja keras dari orang tuanya yang kini menua di ujung desa.
Tapi malam ini, mereka duduk bersama, menikmati semangkuk bakmie dan tawa seadanya. Dan bagi Otong, itu cukup. Setidaknya untuk dijadikan kenangan yang bisa disimpan dalam lembaran hati, saat dunia mulai berputar terlalu cepat dan semuanya perlahan menjauh.
"Aku suka bakmie gini," kata Bavik sambil menyeruput kuah dari sendoknya. "Hangat, gurih, dan bikin nyaman."
"Sama," jawab Otong pelan. "Rasanya kayak... rumah."
Bavik menoleh, lalu menatap mata Otong. Mata itu jujur, tapi penuh rahasia. Ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. Tapi Bavik tak bertanya lebih jauh. Dan Otong tak mengatakan apa-apa.
Malam terus berjalan. Di luar, lampu jalan berkedip pelan. Dunia tidak tahu bahwa di sudut kecil warung bakmie itu, ada satu hati yang berusaha keras menahan perasaan yang tak pernah sampai. Ada satu cinta yang hanya bisa disampaikan lewat tawa kecil dan sumpit yang menari di atas mie.
Ketika mereka selesai makan, Otong yang membayar. Bavik mengucapkan terima kasih dengan senyum yang selalu mampu menggetarkan hatinya. Mereka lalu berjalan pelan, menyusuri jalan yang mulai sepi.
Di setiap langkah, Otong ingin berkata sesuatu. Tapi kata-kata seperti mengendap di ujung lidah. Ia tahu, mengucapkannya hanya akan membuat semuanya berubah. Dan dia belum siap kehilangan satu-satunya kesempatan untuk sekadar berjalan berdampingan.
Malam itu, Otong pulang dengan langkah pelan. Perutnya kenyang. Tapi hatinya? Laparnya tak akan pernah terpuaskan.
Dan ketika ia menutup pintu kamarnya malam itu, Otong hanya bisa tersenyum sendiri, pahit, tapi hangat. Karena ia tahu, cinta tak selalu harus memiliki. Kadang cukup dengan bisa duduk bersamanya, menyuap bakmie hangat, dan melihatnya tertawa meski hanya sekali.
***
Malam itu adalah malam minggu, malam yang katanya diciptakan untuk para pasangan muda saling bertukar tawa dan parfum. Di luar sana, gadis-gadis seusia Bavik sudah berdandan rapi, mematut diri di depan cermin, menyemprotkan parfum beraroma bunga musim semi yang entah tumbuh di mana, sambil menunggu pacar datang dengan motor matic pinjaman.
Tapi tidak dengan Bavik.
Ia hanya duduk termenung di balik jendela kamarnya yang terbuka lebar, membiarkan angin malam menyusup lembut, mengibaskan rambut hitamnya yang panjang sepinggang, liar tak diikat, seperti hatinya malam itu liar, tak menentu.
Langit malam terlihat bersih, jernih, bertabur bulan dan bintang seperti kerikil cahaya yang ditebar di samudera hitam. Sejauh mata memandang, hanya ada langit luas tanpa ujung, seolah dunia diam, menunggu keputusan besar dari seorang gadis muda yang sedang galau luar biasa.
Letak kamarnya yang berada di bagian belakang rumah, yang berdiri di lereng bukit kecil, membuat posisi kamarnya tinggi, sangat tinggi. Bahkan jendelanya menganga sekitar dua puluh meter di atas tanah.
Jangan bayangkan pencuri atau penjahat bisa masuk, mereka harus lulus pelatihan panjat tebing dulu. Jadi meskipun jendela itu tak berteralis, Bavik merasa aman, aman dalam kesendirian dan angin malam.
Lampu pijar 15 watt yang menggantung malu-malu di batas kamar anak pamannya dan kamarnya sendiri hanya memberikan cahaya temaram, seperti suasana hati Bavik . Redup, setengah putus asa, setengah berharap.
Tapi matanya masih tajam, belum berkacamata seperti sebagian besar teman-temannya yang sejak SMP sudah akrab dengan lensa minus.
Di atas meja belajar, bertumpuklah surat-surat cinta. Iya, Surat cinta. Bukan tagihan, bukan brosur diskon, tapi surat cinta sungguhan. Isinya menggelegar janji setia, puisi setengah matang, dan harapan-harapan tentang masa depan yang belum tentu cerah.
Setiap surat telah dibacanya berkali-kali, seperti mengulang soal ujian nasional, takut salah pilih, takut salah langkah, takut salah jodoh.
Ada empat surat dari guru-guru honor di sekolahnya, bayangkan, empat! Entah semangat mengajarnya bagaimana kalau semua tertarik pada satu murid. Lalu satu dari ketua kelas, yang katanya rela berhenti jadi juara demi menjadi pacarnya.
Satu dari ketua OSIS, lengkap dengan kutipan motivasi. Satu lagi dari tetangganya yang rajin ikut ronda dan senyum tiap pagi. Ada pula satu dari seorang lulusan sekolah guru agama dari Malang, lengkap dengan dalil dan doa. Dan yang terakhir... dari Otong .
Otong. Nama itu seperti petir kecil dalam dada Bavik. Ada yang hangat, ada yang aneh. Tapi tetap saja, semuanya membuatnya bingung setengah mati. Hatinya seperti diperebutkan dalam lomba catur pakai hati.
Ia tak ingin salah pilih. Cinta bukan lelucon, bukan eksperimen. Ini soal hidup dan masa depan. Maka malam itu, Bavik pun bersujud dalam doa. Lama. Khusyuk. Hampir setengah jam lamanya ia bermunajat pada Tuhan, meminta petunjuk, entah dalam bentuk suara gaib, pelangi di malam hari, atau hati yang bergetar di titik tertentu.
Dan tiba-tiba... ia tersenyum. Sebuah ide brilian muncul. Bukan bisikan langit, bukan pula penglihatan ajaib, bukan juga mukjizat yang tiba-tiba muncul di luar hukum logika, tapi ide cemerlang yang membuat matanya berbinar seperti baru menang undian.
Tuhan menjawabnya bukan dengan suara, tapi dengan inspirasi.
Segera, ia meraih sebuah buku folio kosong berisi seratus lembar, buku cadangan untuk pelajaran, yang malam itu berubah fungsi. Dengan semangat detektif cinta, ia membuka lembar pertama dan mulai membuat sebuah tabel yang ia beri judul: Buku Seleksi Cinta.
Serius. Ia benar-benar menuliskan judul itu di atas halaman dengan huruf besar dan tinta biru: BUKU SELEKSI CINTA.
Di kolom vertikal, ia tulis nama-nama pengirim surat cinta itu satu per satu, hati-hati seperti menulis daftar calon presiden. Satu persatu, dari guru honor sampai Otong , tak ada yang terlewat. Ia akan menilai semuanya, satu per satu; dengan skor, catatan kaki, bahkan mungkin bonus nilai untuk puisi terbaik.
Malam itu, Bavik tidak lagi hanya melamun di balik jendela. Ia bekerja, menilai, menganalisis, mencatat, tertawa kecil saat membaca kalimat konyol, dan menangis pelan ketika membaca surat Otong .
Malam minggu itu tak ada cowok datang apel. Tak ada bunga. Tak ada pelukan. Tapi ada keputusan yang mulai tumbuh. Ada harapan. Ada cinta yang sedang diuji oleh akal sehat dan doa yang panjang.
Bavik tahu, malam itu bukan sekadar malam minggu biasa. Itu adalah malam ketika ia tidak hanya memilih cinta, tetapi juga memilih masa depannya.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI