Mohon tunggu...
Mentari ELart
Mentari ELart Mohon Tunggu... Administrasi - ..perempuan Indonesia

tinggal dan bekerja di Jerman.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Di Jerman Jadi Perempuan Harus Serbabisa

27 Maret 2014   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 2127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (rnw.nl)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (rnw.nl)"][/caption] Sebenarnya di mana pun kita berada kita harus serbabisa. Tapi karena saat ini kebetulan saya sedang tinggal di Jerman maka saya menceritakan sedikit tentang para perempuan di sini. Dulu waktu saya masih kerja di Jakarta, tiap kali mendengar kata "ibu rumah tangga", saya suka berpandangan miring. Karena para ibu rumah tangga yang saya kenal kebetulan adalah perempuan-perempuan yang tidak perlu lagi bekerja di kantor karena penghasilan suami sudah cukup dan tidak perlu juga bekerja di rumah karena ada yang bantu-bantu, minimal satu. Bisa dua atau tiga pembantu. Sopir beda lagi, tukang kebun beda lagi, tiap punya anak pun ada baby sitter-nya masing-masing. Jadi para ibu rumah tangga yang saya kenal itu kerjanya hanya anter-jemput anak, ketemuan dengan sesama ibu-ibu lain, ngerumpi, arisan, dan belanja. Ada juga mungkin ibu rumah tangga yang seperti ibu saya, yang memang beneran kerja di rumah: masak, nyuci, ngepel, dll, tapi sayangnya saya nggak kenal. Di Jerman, karena tidak ada pembantu maka semua harus dikerjakan sendiri. Saya lihat ibu-ibu di sini pinter-pinter sekali masaknya, kalau di Indonesia sayur sop ya sayur sop aja. Di Jerman semua bisa dijadin sayur sop, atau di Jerman istilahnya Suppe. Ada sup ayam, sup jamur, sup bawang, sup labu, sup kentang, sup tomat, pokoknya semua bisa dijadikan sup. Ada juga sayur sop seperti yang biasa ibu saya buat namanya Suppengrün. Bikin salad juga macem-macem. Belum lagi untuk hidangan utama dan penutupnya. Ditambah lagi ibu-ibu di sini senang sekali bikin kue. Haduhh.., bikin kue bisa tiap hari. Itu oven kayanya nggak pernah nganggur. Itu baru soal masak. Belum lagi soal merajut. Sepertinya hampir semua perempuan di sini bisa merajut, minimal bikin syal. Saya pengen banget bisa merajut, sudah habis modal banyak buat beli alat-alat, buku panduan dan tiap hari lihat di Youtube tapi bikin syal pun sudah berbulan-bulan tidak selesai-selesai. Lebih parah lagi, karena sekarang sudah masuk musim semi maka barang-barang sisa musim dingin dijual murah, bahkan harga syal hanya tiga Euro (tidak sampai lima puluh ribu rupiah). Karena gondok, akhirnya saya cerita sama teman di sini, perempuan Indonesia juga. Dia malah bilang begini: "Merajut itu memang harus sabar mbak, syal yang di toko itu pasti buatan mesin makanya murah, kalau rajutan yang dibikin sendiri kualitasnya akan beda. Saya sudah selesai bikin tempat handphone untuk mertua, ini saya lagi bikin kaos kaki rajut buat anak saya. Mau saya ajarin nggak?" Waduh, bikin syal saja saya nggak selesai-selesai, ini lagi mau bikin kaos kaki. Berkebun juga adalah salah satu keahlian ibu-ibu di sini. Sebenarnya tanaman dan bunga-bungaan itu hanya bertahan beberapa bulan saja, karena di musim gugur nanti pasti akan berguguran juga apalagi musim dingin, tidak ada yang sanggup bertahan kecuali jenis tanaman Winterfest. Tapi mereka rajin sekali, tangan mereka seolah ada jampi-jampinya karena apa saja yang ditanam pasti tumbuh apalagi musim semi begini, maka jadilah kebun dan halaman rumah mereka penuh dengan bunga beraneka warna. Sebenarnya saya orang yang tidak sabaran, apalagi kalau ingat di negeri ini ada empat musim ,yang bunga-bungaan hanya tumbuh sesaat, lalu kemudian gugur. Tapi karena saya iri dengan tetangga dan teman-teman yang selalu upload foto tanamannya akhirnya saya ikutan punya hobi baru juga: berkebun. Jadilah saya akrab dengan berbagai perlengkapan berkebun, pakai sarung tangan, ada gunting rumput, ada gunting mawar, ada gunting ranting, ada gunting cabang, ada pupuk cair, ada pupuk serbuk, ada pupuk mawar, ada pupuk anggek, ada pupuk kaktus, wah, pokoknya ramai. Pak Sugi, satu-satunya tukang kebun yang saya kenal saja peralatannya kalah banyak dengan saya. Belum lagi pekerjaan rumah lain yang memang harus dikerjakan sendiri walaupun pakai mesin. Mencuci pakaian memang pakai mesin, tapi `kan mesti disetrika juga. Makanya banyak kemeja pria yang bugelfrei, alias tidak perlu disetrika. Mencuci piring memang pakai mesin, tapi ngerapihin piring ke tempatnya pakai tenaga juga. Bikin kue memang pakai oven listrik, tapi membersihkan ovennya juga capek. Debu di karpet memang bisa pakai vacum cleaner, tapi gotong vacum cleaner-nya dari satu ruangan ke ruangan lain melelahkan juga, apalagi kalau pakai acara naik-naik tangga. Belum lagi membersihkan jendela dan kamar mandi. Di Indonesia semakin besar rumahnya, semakin kaya pemiliknya. Di Jerman beda, semakin besar rumahnya, semakin capek pemiliknya. Lebih hebat lagi ibu-ibu yang bekerja juga. Tidak ada pemisahan ini pekerjaan laki-laki dan itu pekerjaan perempuan. Kalau tidak ada laki-laki di rumah, maka membersihkan salju di depan rumah, memotong rumput, atau mengecat dinding dilakukan perempuan juga. Banyak „pekerjaan laki-laki" yang dikerjakan perempuan. Di daerah tempat saya tinggal pengemudi bus kebanyakan perempuan, karena dianggap perempuan lebih sabar dan lebih hati-hati apalagi melewati jalur sekolahan yang otomatis banyak anak sekolah seliweran dan turun naik bis. Para wanita karir itu sudah capek bekerja, di rumah harus mengerjakan pekerjaan rumahtangga juga. Tapi untungnya laki-laki di sini bersedia membantu. Saya belum pernah dengar ada pasangan yang sama-sama bekerja lalu sementara istrinya masak di dapur, suaminya malah nonton tv. Sedapat mungkin pekerjaan rumahtangga dikerjakan bersama. Bagaimana dengan perempuan Indonesia yang tinggal di sini? Wah, mereka lebih hebat lagi. Dalam hal masakan, selain belajar masakan-masakan Jerman yang ribet itu, mereka juga jadi lebih cinta masakan Indonesia, maklum karena jauh dari kampung halaman. Mereka jadi lebih kreatif juga, kalau tidak ada bumbu dapur yang sesuai, maka mereka menggantinya dengan bahan-bahan lain, misalnya tidak ada santan maka diganti dengan susu atau Sahne. Banyak juga yang jadi pinter bikin pempek, siomay, lontong sayur, nasi uduk, atau lumpia. Malah ada yang bikin tempe sendiri. Nggak tahu gimana caranya, katanya sih kedelai dicampur ragi lalu dipanggang di oven sampai dua hari dengan api kecil. Teman saya ada yang jadi pintar menjahit, karena suaminya, orang Indonesia juga, badannya kecil. Kalau beli pakaian selalu kebesaran, mau ke tukang jahit lah kok biayanya kadang lebih mahal dari harga pakaiannya. Jadilah istrinya sekarang pintar menggunting, merombak, dan menjahit ulang, pakaian yang kebesaran pun jadi pas di badan. Teman saya yang lain jadi pintar gunting rambut, rambut suami dan anak-anaknya sering menjadi korban percobaan. Hanya rambutnya sendiri yang tidak pernah digunting sendiri, repot katanya. Teman saya yang lain lagi gemar mendaur ulang, merombak pakaian lama, benang dan seratnya dikumpulkan, nanti bisa untuk bikin syal. Katanya ada teknik menggunting dan mengumpulkannya sendiri, saya sudah dijelaskan tapi tetap nggak ngerti-ngerti. Teman saya yang lainnya lagi pernah sampai jam 1 malam masih menyetrika pakaian. Karena dua anaknya masih balita, jadi dia sama sekali tidak bisa bergerak, sibuk mengurus rumah dan anak, pas anaknya tidur baru bisa menyetrika. Katanya sambil bercanda "gue pengen banget pulang ke Indonesia, biar bisa jadi nyonya. Hahaha" Salam, Mentari

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun