“Baiklah para murid-murid sekalian, saya akan mengumumkan siapa saja yang lolos seleksi olimpiade untuk tahun ini. Untuk kelas X yang akan diutus adalah Raisa Widyasari” ucap bu guru dengan lantang.
Semua orang bertepuk tangan.
“Untuk kelas XI yang diutus adalah Dewi Lestari, dan untuk kelas XII yang lolos adalah Naila silvia rahmah”
Hatiku hancur mendengar itu, panas mataku ingin mengeluarkan air mata, namun ku tahan. Bagaimana bisa naila bisa menjadi utusan, sedangkan saat ujian dia mengosongkan 5 jawaban. Sungguh tidak adil.
“Bagi para utusan kelas diharapkan untuk maju ke atas panggung” ucap Bu Guru.
Mereka bertiga maju ke depan dengan bangga. Namun, aku lihat wajah Naila tidak menunjukkan kebagahagiaan. Di depan panggung, tiba-tiba Naila mengambil pengeras suara, dan berbicara.
“Aku senang bisa menjadi utusan sekolah untuk mengikuti olimpiade ini, aku senang bisa lolos tahap seleksi ini, namun aku ingin keadilan. Aku tidak ingin lolos seleksi hanya karena aku anak kepala sekolah. Aku mendengar Bapak Kepala Sekolah memerintahkan para Guru untuk meloloskan aku. Aku ingin menjadi utusan dengan kemampuanku sendiri, seharusnya perwakilan kelas XII bukan aku, tapi Rani Amanda. Dia menyelesaikan soal dengan benar, sedangkan aku tidak, ada beberapa soal yang aku kosongkan karena aku tidak paham” ucap Naila dengan suara gemetar.
Tak ku sangka Naila akan berbuat demikian. Ku pikir dia tidak mendengar perbincangan ayahnya di Kantor pada saat itu. Rupanya dia mengikutiku setelah selesai ujian saat itu. Bahkan dia melihatku menangis di kelas.
Semua orang bertepuk tangan pada naila karena sikapnya yang adil. Dia menyuruhku maju untuk menggantikannya sebagai utusan. Sedangkan dia turun ke bawah.
“Kau patut mendapatkan ini, ran. Kau sangat berusaha keras” ucapnya sambil tersenyum kemudian memelukku dan menangis.
“Terima kasih, nai. Kau sangat berjiwa besar” jawabku sambil membalas pelukannya.
Semua orang bertepuk tangan kepada kami.
Mellinda Raswari Jambak