Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Urgensi Investasi Hijau di Tanah Air

30 Juli 2022   07:03 Diperbarui: 30 Juli 2022   07:08 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi investasi hijau (Pixabay/Tumisu).

Indonesia memegang presidensi KTT G20, mengusung tema Recover Together, Recover Stronger, mengajak dunia untuk pulih dan bersama-sama mengatasi krisis global akibat pandemi COVID-19.

Dalam agenda KTT G20 kali ini, transisi energi dari sumber energi fosil menjadi sumber energi terbarukan menjadi salah satu isu fokus yang akan dibahas.

Pembangunan yang berdasarkan sustainable energy, dianggap sebagai sebuah investasi hijau. Karena menjadi kunci untuk menjawab tantangan-tantangan di masa depan dan pertumbuhan ekonomi hijau, biru, dan sirkular Indonesia.

Sebelumnya, pada konferensi iklim COP26 di Glasgow, Indonesia telah berkomitmen menjadi pusat investasi hijau dan menurunkan emisi karbon.

Kenapa investasi hijau menjadi pilihan?

Investasi hijau tidak memiliki dampak negatif, seperti mengeksploitasi sumber daya dan menyebabkan pengangguran. Investasi hijau tidak menyingkirkan atau memiskinkan masyarakat. Melainkan, menciptakan lapangan pekerjaan baru dan pertumbuhan ekonomi melalui harmonisasi dengan alam.

Lantas seberapa urgenkah penerapan investasi hijau di Indonesia?

Pada hakikatnya, investasi hijau adalah sebuah investasi cinta terhadap Bumi. Dari segi definisi, investasi hijau adalah sebuah investasi yang berfokus pada aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola baik untuk menjaga kelangsungan perekonomian dan kehidupan di muka bumi.

Saat ini seluruh dunia tengah menghadapi berbagai isu lingkungan, mulai dari degradasi laut dan tanah, kekeringan, pencemaran plastik, penipisan sumber daya alam, hingga kepunahan keanekaragaman hayati.

Isu degradasi dan kekeringan ini cukup serius, khususnya di Arab Saudi dan diikuti Amerika Serikat, menyebabkan kedua negara ini harus mengandalkan air laut sebagai sumber mata airnya.

Ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis pangan global dan meningkatnya harga minyak bumi, semakin menyadarkan dunia akan pentingnya penggunaan energi terbarukan untuk pembangunan dan ekonomi yang berkelanjutan.

Indonesia sendiri telah merasakan dampaknya, yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi. Banyak usaha terpaksa tutup, sehingga sulit untuk mencari pekerjaan dan tingkat kejahatan meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari databoks, per Agustus 2020 jumlah pengangguran di Indonesia bertambah dari 2,67 juta menjadi 9,77 juta orang. Pemanasan global dan perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada krisis pangan di Indonesia. 

Bila tidak ditangani dengan baik dan dibiarkan terus menerus, seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi krisis pangan lalu kemiskinan dan kesenjangan sosial yang tumbuh tak terkendali. Adanya pencemaran, degradasi tanah dan kekeringan mengakibatkan hasil bumi menurun. Akibatnya sumber pangan dan pendapatan rakyat berkurang.

Semua ini dapat terjadi akibat tidak adanya perencanaan yang baik terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.

Hubungannya dengan KTT G20?

KTT G20 menjadi momentum bagi Indonesia untuk membuktikan tekadnya sebagai pusat investasi hijau dan mewujudkan net zero emission. Forum ini menjadi wadah bagi 20 negara yang hadir untuk saling berdialog, berbagi pengetahuan dan teknologi, serta best practices demi ekonomi yang berkelanjutan.

Pertukaran pengetahuan dan teknologi ini penting bagi Indonesia untuk mengembangkan riset-riset yang mendukung terwujudnya ekonomi berkelanjutan.

Tantangan bagi Indonesia saat ini dalam melakukan transisi energi–sebagai bagian dari investasi hijau–adalah mengubah sikap dan cara pandang masyarakat terhadap penggunaan energi terbarukan, finansial dan teknologi yang belum mendukung, serta belum adanya insentif terhadap usaha-usaha ramah lingkungan.

Meskipun demikian, Indonesia telah memulai langkah pertamanya untuk menerapkan investasi hijau dengan menggunakan kendaraan listrik dan membangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SKLU)

Langkah selanjutnya, Indonesia menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dari Korea Selatan untuk membangun industri baterai listrik dan pabrik kendaraan listrik. Kerja sama ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan investasi hijau di Indonesia. Kolaborasi antara Korea Selatan dan Indonesia ini tidak terbatas pada investasi dan pertukaran teknologi, tetapi juga dari tingkat perizinan, pengawasan, hingga realisasi investasi.

Gerakan investasi hijau kemudian semakin meluas di Indonesia. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), Teten Masduki mendorong pertumbuhan ekonomi dari pengembangan usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) yang berorientasi ramah lingkungan dan berbasis keunggulan lokal.

Dampak Positif Bisnis Hijau Terhadap Ekonomi Indonesia

Sebelumnya, COVID-19 telah menyebabkan pergeseran pola konsumsi masyarakat di Indonesia. Dari sebelumnya berbelanja langsung ke toko fisik, beralih dengan belanja secara daring di marketplace. Tak hanya itu, perubahan gaya hidup juga mengakibatkan beberapa sektor ekonomi harus lumpuh sementara, salah satunya sektor pariwisata.

Namun kini, bisnis-bisnis berorientasi ramah lingkungan mulai berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian alam. Menunjukkan bahwa usaha kreatif berorientasi ramah lingkungan memiliki potensi untuk membangkitkan ekonomi Indonesia yang lesu akibat pandemi COVID-19.

Berbagai usaha kreatif ramah lingkungan bermunculan, diantaranya adalah bisnis daur ulang sampah, layanan pengantaran makanan menggunakan sepeda, instalasi panel surya, usaha pertanian hidroponik, usaha pengomposan, bisnis furnitur daur ulang hingga bisnis peternakan angin.

Kemunculan usaha-usaha ini menguntungkan bagi ekonomi dan pembangunan negara. Bertambahnya usaha dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru, menyerap sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, dan mengurangi angka kemiskinan.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada Januari 2021, usaha-usaha berorientasi ramah lingkungan ini memiliki potensi untuk menambah gross domestic product (GDP) senilai Rp 593 triliun hingga Rp 638 triliun dan mampu menyerap 4,4 juta pekerja.

Laju perekonomian Indonesia tumbuh, mendatangkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Yang artinya, mendatangkan devisa bagi negara.

Di samping itu, usaha ramah lingkungan juga membantu negara untuk mengatasi masalah lingkungan. Mendaur ulang sampah dapat mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan. Menurut laporan Bappenas, start up berorientasi ramah lingkungan mampu mengurangi volume sampah hingga 18,53 % di tahun 2030, meningkatkan kelestarian lingkungan hingga tiga kali lipat.

Wasana kata, investasi hijau membentuk ekosistem yang baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun