Mohon tunggu...
Meliiinn
Meliiinn Mohon Tunggu... Editor - Pelajar

Self healing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Our Plottwist Journey

15 April 2023   16:11 Diperbarui: 15 April 2023   16:12 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Setelah kaki kami benar-benar telah menapak pada 2590 mdpl di atap tertinggi Kota Dieng, raga kami serasa melayang karena perjuangan yang telah finish. Namun moment itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum akhirnya kami melihat tulisan di bawah plang 2590 mdpl puncak Prau yang bertuliskan, " dilarang membuat camp di sini". Kami meng aduh ria karena sebenarnya yang kami cita-cita kan dan dambakan saat itu juga adalah selonjoran di dalam tenda. Jadi, dengan terpaksa kami harus mengumpulkan raga kami yang telah melayang jauh untuk kembali melanjutkan perjalanan.

     20 menit berjalan, kami menjumpai persimpangan jalan dengan plang yang menunjukkan jalur signal pada arah kanan, dan jalur sunrise camp untuk arah kiri. Kami langsung melangkahkan kaki ke arah kiri, yaitu jalur sunrise camp. Karena sebelumnya, kami telah diarahkan oleh mas Mamut. Setelah berjalan sekitar 94,36 meter dari persimpangan, kami mulai disuguhkan dengan pemandangan tenda-tenda yang berbaris rapi. Kami pun lingak-linguk memilih tempat untuk kami jadikan tempat persinggahan sementara. Seperti dia yang singgah tapi tak sungguhL.

     Sejenak, hanya keheningan yang mengisi detik-detik kami. Sampai telinga kami menangkap sebuah suara yang kami duga adalah kyubi lapar. 14 detik kemudian kami tersadar bahwa suara tersebut ternyata adalah dengkuran "peri" yang kelelahan setelah mendaki dan beristirahat di tendanya. Kami pun terus berjalan hingga kami menemukan tanah lapang berumput yang kelak akan menjadi tempat terbaringnya tenda kami. Dengan suhu 2C di puncak Prau, kami merasakan dingin yang luar biasa, bahkan dinginnya sikap puan Maharani pun tidak ada apa-apanya dengan dinginnya puncak Prau.

      Penyakit mager kami kambuh. Kami hanya terduduk planga-plongo merasakan kekuatan sihir Elsa di Arandlle menjalar pada tubuh kami. Sedangkan mas-mas Brebes tadi sedang berjuang antara hidup dan mati mendirikan tenda kami. Lalu setelahnya, mereka baru mendirikan tenda mereka di seberang sana. Cacing di perut kami mulai melaksanakan aksi unjuk rasa yang menjadikan kami tak enak hati membiarkannya. Kami pun mulai melakukan kegiatan sehari-hari kami, yaitu memasak mie instan kuah khas anak kos, walaupun kami tak pernah ngekos.

     Setelah cacing kami menyudahi aksi unjuk rasanya, gantian kami tak enak hati kepada raga kami yang ngikut protes karena kelelahan. Hingga akhirnya kami merebahkan tubuh kami yang sudah terbalut sleeping bag di dalam tenda biru abu-abu milik mas Asep. Melihat kelelahan kami, seharusnya kami dapat tertidur pulas, namun karena dinginnya suhu di puncak Prau, membuat kami sulit memejamkan mata. Para tokoh dalam mimpi kami pun baru melaksanakan briefing pada pukul 2 pagi, dan baru memulai pertunjukan drama di kepala kami pukul 3 pagi saat kami sudah benar-benar terlelap. Padahal kami sampai area camp dan rampung mendirikan tenda sejak 2 jam yang lalu. Hufft perjalanan yang sangat melelahkan bagi kami yang melewati empang persawahan saja butuh waktu pemulihan sehari semalam. Tapi tidak apa-apa, mari kita lihat pertunjukan semenakjubkan apa yang akan Prau suguhkan pada 4 mahluk lucu ini J.

     "Bangun bangun, kerja kerja!", "Tangi Tangi! Mujadahan!". Suara bising di luar tenda memaksa mata kami untuk melek. Ternyata itu adalah suara mas-mas Brebes yang menirukan gaya kami ketika membangunkan santri di Pondok. Kamipun bergegas keluar dari tenda. Membuka tenda rasanya seperti membuka kulkas 4 pintu. Salah satu dari mas-mas Brebes tadi menyambut kami dengan perkataan mengejek "Selamat siang kebo muslimah" dengan senyum yang dipaksakan. Kami hanya merespon dengan cengar-cengir dan menanyakan pukul berapakah ini. Dan mas Brebes tadi hanya menjawab dengan telunjuk tangan yang diarahkan ke matahari yang sudah setengah naik. Kami hampir menangis menyadari kami yang kehilangan moment ter the best yang paling kami nantikan.


     Tapi tidak apa, pemandangan yang tersisa masih sukses membuat kami takjub dan tak henti-hentinya mengucap tasbih. Dan sebenarnya, kami terhitung beruntung, karena di cuaca yang selalu dipenuhi hujan lebat ini, kami masih dapat melihat pesona matahari yang begitu dekat dan bulat sempurna tanpa kabut sedikitpun.

     Sepatu kami pun menarik paksa langkah kami berlarian kesana kemari mengelilingi Bukit Teletubbies yang di penuhi bunga edelweiss. Sesekali kami merebahkan tubuh kami di antara rerumputan dan bunga-bunga. Terakhir, kami berempat menuju bukit yang tidak ada satu orangpun di atasnya. Setelah sampai, kami disuguhkan dengan pemandangan kawah dan perkotaan Dieng yang benar-benar membius kami. Di situ kami mulai melaksanakan agenda terpenting yang telah direncanakan sejak awal.

     Kami mulai mengeluarkan keresahan demi keresahan yang selama 20 tahun ini kami pendam di lubuk hati masing-masing. Kami meracau, menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Tidak ada yang melarang kami, tidak ada yang menyuruh kami diam, tidak ada yang menghentikan tangis kami.

     Alam, memang selalu membuat penjumpanya terkesima. Membuat manusia terluka menemukan tempat bercerita. Mambuat manusia penuh lara menumpahkan apa yang dirasa, saat ia tak lagi sanggup bercerita kepada sesamanya.

"Terimakasih Prau... Simpan rahasia itu baik baik :')", bisik kami lirih pada tanah menjulang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun