Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintamu, Cintaku

19 Maret 2023   15:31 Diperbarui: 19 Maret 2023   15:41 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Megawati Sorek 2023

            Sofi mengambil tisu, mengelap air mata. Gadis cantik itu menarik dan menghembuskan hidungnya mengeluarkan lendir. Wajah yang putih bersih itu terlihat sembab. Sudah  beberapa kali ia terisak. Aku yang sedari tadi mendengar ia bercerita, masih diam. Kata menghibur dan menguatkan sebagai nasihat untuknya belum terucap. Berulang kali, setiap  menghadapi masalah, maka ia akan datang padaku. Seakan aku hanyalah ada di saat dukanya melanda.

          Sikap yang manja dan seakan rapuh itu, membuatku selalu tak kuasa untuk menolak kehadirannya. Bahkan aku suka, sangat candu. Dari kecil, kami bertetangga. Aku tahu betul dengan kecenggengan gadis yang kini tumbuh dengan sangat cantik itu. Masa-masa indah kami lewati, aku selalu menjadi pelindung jika ada yang mencoba menggangunya. Bahkan, pe-er dan tugas sekolahnya aku turut andil mengerjakan.  Aku sangat menikmati, menyadari  ketergantungannya padaku.

         Menjelang masa memasuki kuliah, ia berubah. Kebersamaan dengan teman-teman barunya membuatku cemburu. Ada yang menyesakkan dada, Sofi mulai mandiri. Tidak lagi menyapa atau meminta bantuanku lagi. Aku kalang kabut, merasa tidak lagi diperlukan olehnya. Menurutku, tak ada persahabatan sejati. Contohnya saja aku, ternyata hati ini menyimpan rasa, mencintai gadis impian yang sangat kupuja, ingin memberikan kebahagiaan untuknya.

         Aku tak bisa kuliah karena keadaan ekonomi dan tak ingin merepotkan Ibu. Ibuku--single parent hanya seorang pembantu di rumah keluarga Sofi. Aku bekerja di sebuah bengkel sebagai montir. Ada perasaan rendah diri, apalah aku, sadar diri, tak pantas! Tak bisa mematutkan diri  untuknya. Faktanya  hanya cinta yang tulus yang kupunya.

        Hari ini, Sofi ke bengkel bertepatan di saat jam istirahat. Semua karyawan keluar mencari makan siang. Suasana mendukung Sofi untuk mengadu padaku. Wajah ayunya ditekuk. Ia bercerita tentang kekecewaannya pada sang kekasih. Lelaki itu telah berselingkuh. Terlihat jelas ia terluka. Aku tak menginginkan hal itu terjadi. Jika mampu, akan kulakukan apapun untuk mengubah kesedihan di hidupnya. Wajah itu harusnya bercahaya dengan senyuman.

            "Apa kurangnya aku? Rasanya aku sudah menjadi apa yang diinginkan Brian, Bang. Bahkan, aku sudah mencoba tak cemburuan lagi, dasarnya dia saja yang suka tebar pesona." Kembali  Sofi bercerita dengan matanya yang sudah berkaca-kaca lagi. Aku tahu pasti dia akan mengulangi lagi tangisannya. Dasar, cantik. Lagi menangis aja tetap ngegemasin. Lagi! Membuatku rasanya ingin mengelus pipi mulus itu.

           "Aku takut diputuskan sama dia, Bang. Aku harus bagaimana?" tanyanya padaku dengan sorot mata yang sayu.

"Tak akan. Bodoh dia jika tak lagi memilikimu!" Hiburku padanya. Merengkuhnya ke pelukanku karena tak tega melihatnya  tersedu.

            Ada rasa nyeri di dada mendengar wanita yang  kucintai menangis karena lelaki lain. Itu sungguh perih rasanya. Aku mungkin bisa menghapus air matanya, tetapi hati ini juga menangis di saat yang sama. Cintaku terpendam, hanya bisa tenggelam dalam mimpi. Dirinya nyata di depan mata tapi tak bisa dimiliki. Aku telah berusaha keras membunuh perasaan ini,  sadar, ini hanya berakhir luka.

       Terdengar suara rem berdecit. Sepeda motor sport berhenti tepat di hadapan kami berdua. Seorang lelaki dengan postur tubuh  tinggi melepas helm, berjalan dengan langkah lebar ke  arah kami. Mataku menyipit memindainya, aku mengenalinya. Aku melonggarkan pelukan. Sementara Sofi tidak menyadari karena punggungnya yang menghadap ke pria berwajah seperti orang Eropa tersebut.

      Saat sudah dekat, dengan cepat tangannya meraih tangan Sofi dengan kasar.

      "Ini kelakuanmu, berpelukan, heh? Dasar jalang!"

       Sofi terperanjat memandangi wajah Brian dengan sedikit mulut terbuka. Brian terlihat marah, mengengam pergelangan tangan Sofi. Mungkin sangat erat, terlihat dari wajah Sofi yang meringis.

Aku memilih berbalik, kembali menuju tempat kerja. Memberikan mereka kesempatan untuk berbicara menyelesaikan masalahnya.

Dari kejauhan, melihat mereka bertengkar. Kerjaku tidak fokus, beberapa kali aku menjatuhkan benda di tangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Brian bahkan menampar pipi Sofi. Aku yang melihat hal itu menjadi panas. Menahan diri untuk tidak ikut campur. Tapi perlakuan Brian sudah keterlaluan, mendorong Sofi hingga terjatuh. Aku berdiri dengan membawa kunci Inggris mendekati mereka.

       "Bisa nggak jangan kasar sama perempuan!" ucapku sambil membantu Sofi berdiri. Sofi siaga dengan mengambil kunci Inggris di tanganku, mungkin dia merasa gelagat yang tak baik. Benda itu di letakkannya tak jauh darinya.

        "Apa, lu? Bukan urusan, lu!" tantangnya dengan mata elangnya menatapku tajam.

        "Kalian ngaku sahabat, lu kira gue nggak tau, lu cinta, 'kan, sama Sofi, heh! Pakai ngaku sahabatan atau kakak adek!" sambungnya lagi.

          Skak mat, kalimat itu membuatku mati kutu. Malu campur marah, aku merasa ditelanjangi.

           Sekilas kulihat ekpresi Sofi yang menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Matanya seakan penuh tanya. Terlanjur, harus kuakui.

          "Ya, aku mencintai Sofi lebih dari pada aku mencintai diriku, jadi jangan sakiti dia!" teriakku sambil mendekati Brian. Mata kami saling bersetatap dengan jarak yang hanya beberapa senti.

           "Tak malu! Sadar dirilah!" ejeknya dengan lengkungan senyum mengejek pada bibirnya dan mencebik.

           "Gue hanya minta lu jangan membuat Sofi menderita!" pintaku dengan sedikit menggeram. Tangan kiriku mengepal erat, terasa jariku menusuk telapak tangan. Mencoba agar tidak terprovokasi dengan kata-kata pedas Brian.

           "Ini kisah percintaan gue, terserah gue. Mau gue apain si Sofinya!" bentaknya dengan matanya melotot.

          "Kalau kau berani ingin membuat Sofi menderita. Langkahi dulu mayatku," ucapku mulai naik darah.

           Bugh!

            Tinjuku berhasil mendarat di perutnya, membuat mundur beberapa langkah. Bersiap, Brian balas ingin memberi pukulan pada wajahku, dengan cepat menghindari. Sofi menjerit dan berusaha melerai kami. Beberapa pandangan orang yang berlalu lalang pun melihat. Mereka memilih apatis. Perkelahian ini tetap akan aku lakukan, emosi hatiku meledak mendengar dia akan menyakiti Sofi. Brian tak pantas untuk dicintai.

          Tubuh Brian yang lebih besar dariku, membuat kewalahan. Beberapa kali pukulan dan tendangannya membuatku terjengkang. Akhirnya dia berhasil menimpa, duduk di atas perutku serta mencekik leher. Sofi berusaha mengagalkan aksinya. Tapi dia terpental karena di dorong oleh Brian. Aku terengah-engah, tangan ini berusaha menggapai kunci Inggris yang tergeletak. Berhasil, dengan cepat memukulkan kunci Inggris ke pelipisnya. Ia limbung ke sisi kanan. Aku bangkit dengan cepat, dahinya yang berdarah di pegang dengan tangannya. Sejurus Ia melihat jarinya yang berwarna merah. Tangannya merogoh saku dan mengeluarkan pisau lipat. Netranya tajam memandangiku dengan kilatan kebencian. Lelaki itu bersiap menubrukku ingin menusuk. Mengetahui pergerakannya, secepat kilat sebisaku lagi mengelak. Tak kehabisan akal Ia menyambar tubuh Sofi serta meletakkan belati itu ke leher Sofi. Wajah wanita yang kucintai itu pucat, matanya memutar melirik ke belati.

         Aku terperanjat, apa-apaan maksud Brian.

        "Berlutut, jika tak ingin pisau ini melukai lehernya!" titahnya padaku.

         Aku melakukan intruksinya, melepas kunci Inggris ke tanah, sembari bersimpuh. Brian tertawa puas. Bahkan tubuhnya sampai terguncang. Hatiku menahan amarah, hanya diam, menatap kepada Sofi yang ketakutan. Ada yang sakit di hati ini ketika tak berdaya menghadapi situasi.

        "Kita lihat, sampai di mana cinta lu. Mendekatlah! cium kakiku." Kalimat Brian tersebut membuat darah berdesir dan terbakar. Dasar gila! Brian sakit! 

          Masih dengan berlutut, aku mendekatinya yang telah menyodorkan kaki agak sedikit berjinjit ke arahku. Mendapat celah, dengan cepat kutangkap kaki panjang miliknya tersebut hingga Ia jatuh tertelentang. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku merebut senjata dari tangannya. Diiringi jeritan menancapkan pada dada Brian dan itu berulang kali. Brian terkejut, mungkin Ia tak menduga aku melakukan itu. Dua binar tipis Brian semakin menyipit, seperti mencoba menarik napas yang tersengal. Akhirnya matanya terpejam. Aku yang di atas tubuhnya membeku. Baru tersadar atas semuanya. Sofi berlari, mendorongku. Menangkup kepala Brian di pangkuannya, berteriak histeris memanggil nama Brian berulang-ulang.

         "Mengapa kau bunuh cintaku, Bang! Mengapa?"

          Aku tertunduk, memandangi kedua tangan yang ternyata banyak berlumuran darah. Sofi justru marah dan kecewa padaku. Betapa besarnya cintamu pada Brian hingga relakah kau jika terus di sakiti olehnya. Aku yang tak rela, wahai Sofiku. Kau tahu lebih besar lagi cintaku padamu, Sofi. Hingga rasa sakitmu ingin kuambil alih, tetapi ternyata aku salah.

        Sofi telah pergi ke rumah sakit, sementara aku digiring dengan tangan yang di borgol. Jeruji besi telah menunggu.

Bionarasi

Megawati lahir 35 tahun lalu, tepatnya tanggal 15 Agustus 1985 di Tembilahan-Inhil . Kini berdomisili di Desa Angkasa Bandar Petalangan, Pelalawan, Riau.

 Organisasi yang saat ini diikuti adalah sebagai Pengurus Daerah Forum Taman Bacaan Masyarakat (PD FTBM) sebagai koordinator Bidang SDM serta memiliki geliat literasi Taman Bacaan Masyarakat ditingkat Kecamatan dengan nama "TBM Cahaya Angkasa".

Jejaknya bisa dilacak di akun Instagramnya yaitu #bundaaliqha. Kicauan serta statusnya terselip diakun aplikasi biru milik Mark Zuckerberg Facebook dengan nama Ayue Mega Bunda Aliqha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun