Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Seorang Guru

10 Maret 2023   15:58 Diperbarui: 10 Maret 2023   16:06 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Pribadi Megawati Sorek 2010

Aku tertegun di ambang pintu kelas. Mataku mengitari deretan bangku siswa yang sudah duduk rapi, dan terhenti pada kursi di sudut  dinding, paling belakang. Kosong, hanya ada seorang siswa di sebelahnya. Bangku yang biasa diduduki oleh murid yang bernama Sania.  Gadis kecil yang sering berkepang dua, berparas manis dengan  mata bulat. Aku menghela napas, Sania absen lagi hari ini. Terhitung telah tujuh hari ia tak masuk dan tanpa berita, sudah beberapa kali aku mencoba menghubungi mama Sania--Maya. Ponselnya tidak aktif dan informasi dari siswa lainnya, katanya rumah Sania terlihat  kosong.

Maya adalah sahabat dekatku saat kami berseragam abu-abu. Setelah tamat, ia langsung menikah muda, terdengar desas-desus ia telah telanjur berbadan dua. Berbeda denganku yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke provinsi dan berhasil meraih mimpi menjadi guru, tetapi sayangnya sampai saat menginjak usia yang ke-35 tahun, aku belum menemukan jodoh, tepatnya pengganti sosok pria yang pernah menggoreskan luka di hati. Setelah selesai kuliah aku pun kembali ke kampung, mengabdikan diri dan setelah sepuluh tahun berlalu, anak Maya menjadi muridku.

Rasanya baru kemarin, Sania terlihat duduk di situ tersenyum mengembang. Masih segar  dalam ingatan, dia menulis dan bercanda dengan teman-temannya yang lain. Di hatiku, Sania memang memiliki tempat spesial. Aku sering memperhatikan tingkah polahnya karena wajahnya sangat mirip dengan seseorang. Selain itu, Sania adalah murid yang terbilang kategori cerdas. Selalu langganan juara kelas. Sikapnya juga selalu ceria. Ia banyak memiliki teman,  sifatnya yang tidak sombong dan mudah bergaul makin membuat ia disenangi.

Setelah masuk awal semester genap dan usai  liburan. Sania terlihat berubah. Sebagai wali kelasnya aku menyadari ada suatu hal yang terjadi padanya. Ia menjadi murung dan lebih pendiam. Dulu ia pernah berduka karena kehilangan sang ayah, aku rela bersusah payah membujuk dan memberikan dorongan semangat pada anak itu. Dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Apa mungkin kali ini ia telah mengalami pubertas? Mengingat zaman sekarang perkembangan hormon sangat cepat, bahkan banyak teman sekelas lainnya atau tingkat empat sudah datang bulan. Sebagai guru wali kelas, aku memang mendata hal tersebut. Untuk tindak lanjut akan kuarahkan untuk berhati-hati bergaul dan mengajari cara mandi bersih wajibnya dan mewanti-wanti tentang ibadah wajib yang tak boleh dilalaikan lagi. Terkadang aku sedih, ada beberapa wali murid yang tidak begitu peduli dengan perkembangan anaknya sendiri.

Saat jam istirahat, sengaja aku memanggilnya untuk ke kantor, ia duduk di depan meja kerja.

"Sania sedih, Bu," jawabnya pelan ketika perihal perubahan sikapnya kutanyakan.

"Kalau, Ibu boleh tahu, kenapa Sania sedih? Apa yang bisa Ibu bantu?" tanyaku sembari meraih tangan anak tersebut.

"Mama akan menikah lagi." Sania mulai meneteskan air mata.

Aku mengelus kedua pipinya, menghapus jejak air mata pada gadis kecil yang sangat kusayangi itu. Aku mengerti apa yang dirasakannya, setelah beberapa tahun menjadi yatim kini harus bersiap menerima sosok penganti ayahnya. Maya tak pernah cerita tentang ini, mungkin karena kami tidak terlalu dekat lagi.

Setelah mengetahui hal tersebut, aku berencana untuk berbicara dengan Maya. Esoknya belum sempat hal itu aku lakukan, Sania dan Maya sudah pergi tanpa berita, membuat aku menjadi kepikiran, ada apa gerangan yang terjadi?

***

Pembelajaran hari ini berlangsung lancar dan bel istirahat telah berbunyi. Setelah memastikan anak-anak keluar kelas dengan tertib. Langkahku menuju ruangan kantor, melewati koridor dan terhenti, ketika nada dering dari ponsel di sakuku berbunyi. Terlihat deretan angka, nomor yang tak tersimpan. Aku mengeryitkan dahi.

 "Ratih! Ini aku, Maya!" Suara terburu-buru terdengar dari sambungan tanpa sempat aku menyapa terlebih dahulu.

"Ya, May, kamu di mana? Sania mana?" cecarku dengan pertanyaan cepat. Aku pun segera menepi dari keriuhan murid-murid yang sedang bermain.

"Aku mau minta tolong, Sania butuh kamu, aku kirimkan alamat, segera datang ya!" Panggilan terputus disusul masuk notifikasi whatsAap. Segera aku cek, ternyata sebuah alamat rumah sakit. Ada apa ini? Benakku bertanya-tanya seiring dengan hati yang gugup dan cemas. Tubuhku menegang, kaku. Apa terjadi sesuatu terhadap Sania. Gegas aku minta izin kepada kepala sekolah dan rekan kerja, menghentikan mobil angkutan umum dan pergi ke kabupaten yang memakan waktu satu jam perjalanan.

Sania terbaring lemah, sorot matanya sayu. Wajah pucat dan kepalanya masih berbalut perban. Di tangannya terpasang selang  infus terhubung ke kantung cairan putih yang digantung pada tiang. Aku tak tahan melihat keadaannya seperti itu, tanpa terasa aku menangis, berjalan mendekati brankar. Maya yang berdiri di samping Sania hanya terdiam memandangku, di sebelahnya berdiri pria berperawakan tinggi. Mungkin calonnya, entahlah, aku tak fokus, yang kutahu saat ini ingin memeluk Sania dan mengetahui apa yang terjadi padanya.

"Sania, ini Ibu, Nak." Aku membungkukkan badan dan menciumi wajah cantiknya. Mungkin sikapku berlebihan sebagai guru. Ya, kuakui itu, pada sosok Sania aku seakan-akan menemukan seseorang. Ayah kandungnya yang telah tewas karena kecelakaan, bukan hanya meninggalkan Maya dan Sania, tetapi juga hatiku. Dia yang sekaligus masih kucintai bercampur benci seakan-akan menjelma pada sosok Sania.

Senyum tipis Sania terbit, ketika aku memaksanya untuk mau disuapi bubur yang disediakan rumah sakit. Mulutku mengoceh tanpa henti membujuk dan memberi semangat agar dia cepat sehat kembali dan bisa bersekolah lagi. Akhirnya, setelah makan dan minum obat, barulah Sania tertidur pulas. Kondisinya pun menurut dokter yang menangganinya tidak terlalu mengkhawatirkan lagi, tinggal menunggu masa pemulihan. Selanjutnya barulah aku dan Maya bisa berbicara banyak

"Sania, tidak boleh kami menikah, ia berontak, aku marah dan ia berlari ke jalan dan tertabrak mobil," jelas Maya padaku saat kami sedang makan di kantin.

"Mungkin butuh pendekatan yang lebih untuk membujuk Sania. Ia masih kecil dan pasti masih sayang pada ayahnya. Kalian berdua harus kompak." Aku memandang lekat pada perempuan yang terlihat semakin cantik. Mungkin ia perawatanan maksimal, ah, rasanya iri sekali dengan kehidupannya. Ia bisa move on dan mendapatkan pengganti dengan cepat. Mataku pun beralih memandang pada pria di sebelah Maya yang hanya banyak diam, setelah diperkenalkannya denganku. Ternyata seorang duda sukses yang beranak dua, tinggal di seberang pulau, berkenalan dengan Maya melalui media sosial dan terpincut dengannya yang masih cantik serta modis.

"Sania, ada cerita, dan aku ingin membahas ini, sebelum kau menghilang, dilema memang, kau masih muda dan tentunya ingin memiliki sandaran hidup, sementara Sania belum bisa menerima," ucapku sambil menyesap kopi hitam yang terasa pahit, mungkin sepahit hidupku yang tak bisa lepas dari bayang masa lalu dan kini terjebak, menyayangi anak mantan. Andai Maya rela, rasanya ingin mulutku berucap agar Sania hidup bersamaku saja. Ikhlas dan bahagia hatiku jika bisa merawat anak sang mantan. Segila itu memang cintaku padanya. Dia, mantan terindah yang memilih berselingkuh dengan Maya daripada menungguku selesai kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun