Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik (Pasal 9 ayat 3). Maka, ketika masyarakat dikriminalisasi karena menolak tambang yang merusak, itu bukan hanya problem hukum pertambangan, tetapi juga problem pelanggaran HAM.
Menuju Pertambangan yang Berkeadilan
Dalam kondisi seperti ini, ada beberapa langkah solutif yang seharusnya ditempuh:
1. Revisi Pasal 162 UU Minerba. Pasal ini perlu diperjelas agar tidak menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat. Hak menyatakan pendapat dan memperjuangkan lingkungan harus tetap dijamin.
2. Kembalikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Pemda yang paling dekat dengan warga harus diberi ruang untuk menindak perusahaan nakal. Sentralisasi absolut terbukti tidak efektif.
3. Tegakkan reklamasi pasca-tambang secara ketat. Perpanjangan izin seharusnya hanya diberikan setelah perusahaan benar-benar menunaikan kewajiban pemulihan lingkungan.
4. Perluas akses Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Banyak masyarakat Bangka Belitung yang menggantungkan hidup pada tambang skala kecil. Daripada terus dianggap ilegal, lebih baik negara memberi jalan legal dengan aturan ramah lingkungan.
Pertambangan timah di Bangka Belitung adalah ironi besar, tanah kaya, rakyat merana. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru sering tampil sebagai alat legitimasi eksploitasi. Revisi UU Minerba dan penegakan hukum lingkungan menjadi kebutuhan mendesak.
Jika pemerintah serius menjadikan pertambangan sebagai penopang ekonomi nasional, maka keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial harus ditempatkan di depan. Jangan sampai timah yang telah memberi cahaya dunia, justru meninggalkan kegelapan abadi bagi masyarakat Bangka Belitung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI