Ramadan selalu menghadirkan kehangatan yang berbeda dari bulan-bulan lainnya. Bukan hanya karena ibadah dan suasana religius yang kental, tetapi juga karena momen kebersamaan yang semakin terasa.
Salah satu tradisi yang paling dinantikan setiap tahunnya adalah mudik. Kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga menjadi bagian dari makna Ramadan yang sejati. Tidak hanya tentang perjalanan, tetapi juga tentang rindu yang tertahan sepanjang tahun dan akhirnya bisa terobati.
Bagi banyak orang, mudik bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga perjalanan emosional. Di setiap kilometer yang ditempuh, ada harapan dan kenangan yang terselip.
Perjalanan panjang yang melelahkan selalu terbayar lunas begitu tiba di rumah, disambut oleh wajah-wajah yang telah lama dirindukan.
Namun, di balik kemeriahannya, mudik juga bisa menghadirkan kejutan yang tak terduga, membawa cerita yang akan terus dikenang sepanjang hidup.
Ramadan tahun ini, aku dan keluargaku kembali berencana untuk mudik ke kampung halaman. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain membayangkan kembali menginjakkan kaki di rumah nenek, tempat masa kecilku dipenuhi dengan kenangan manis.
Namun, perjalanan kali ini terasa berbeda. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, seolah sesuatu akan terjadi di luar dugaan.
Seperti biasa, persiapan mudik dilakukan dengan penuh antusiasme. Tiket sudah dipesan jauh-jauh hari, koper telah dikemas rapi, dan oleh-oleh untuk sanak saudara telah dipersiapkan.
Namun, sebaik apa pun rencana yang dibuat, hidup selalu punya caranya sendiri untuk memberikan kejutan. Perjalanan yang awalnya tampak biasa saja, perlahan berubah menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Di antara kemacetan panjang dan kelelahan yang menyergap, aku mulai memahami bahwa Ramadan bukan hanya tentang tujuan akhir, tetapi juga tentang perjalanan itu sendiri.