Indonesia adalah sebuah paradoks. Di atas kertas, negara ini memiliki segalanya untuk menjadi kekuatan dunia: populasi terbesar keempat, kekayaan alam melimpah yang menjadi incaran global, serta posisi geopolitik sentral di persimpangan jalur perdagangan maritim. Namun, potensi raksasa ini seolah terperangkap dalam realitas yang kontras. Ketika kita menoleh ke panggung dunia, negara-negara yang pada era 1960-an berada di garis start yang sama atau bahkan di belakang, kini telah melesat jauh.
Korea Selatan, yang dulu lebih miskin, kini menjadi ikon inovasi dan raksasa teknologi. Vietnam, yang luluh lantak oleh perang, bangkit menjadi magnet manufaktur global. Singapura, sebuah noktah kecil tanpa sumber daya alam, berhasil mentransformasi dirinya menjadi pusat keuangan dan logistik dunia. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan fundamental: mengapa Indonesia tertinggal?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak terletak pada kelangkaan sumber daya atau kurangnya insan cerdas. Jawabannya bersemayam lebih dalam, pada cacat sistemik yang mengakar dan diwariskan dari rezim ke rezim. Tiga pilar fundamental negara, penegakan hukum, pelayanan publik, dan rekrutmen aparatur, mengalami keretakan serius yang dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan berbangsa.
Penegakan Hukum: Pondasi Keadilan yang Ternegosiasikan
Supremasi hukum (rule of law) seharusnya menjadi Pondasi utama sebuah negara modern, memastikan kepastian, keadilan, dan kesetaraan di hadapan undang-undang. Di Indonesia, prinsip ini sering kali terdegradasi menjadi sekadar "rule by law", di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan, bukan pengendalinya. Persepsi publik, yang diperkuat oleh berbagai indikator global seperti Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan bahwa hukum bukan lagi benteng keadilan, melainkan sebuah komoditas yang bisa ditransaksikan.
Akar Masalah: Selektivitas dan Budaya Transaksional
Pola penanganan perkara yang jamak ditemui menunjukkan adanya standar ganda. Pelanggaran hukum yang melibatkan masyarakat biasa dapat diproses dengan cepat dan tegas, sementara kasus-kasus yang menyentuh elite politik atau ekonomi seringkali berjalan lambat, berbelit, atau bahkan menguap tanpa kejelasan. Fenomena "tajam ke bawah, tumpul ke atas" bukan lagi sekadar kiasan, melainkan cerminan realitas yang dirasakan publik.
Di balik layar, berkembang budaya transaksional di mana putusan hukum atau penghentian perkara dianggap bisa "diatur". Praktik ini melahirkan korupsi yudisial yang merusak sendi kepercayaan paling dasar. Bagi para koruptor, risiko hukum menjadi kalkulasi bisnis. Hukuman yang mungkin diterima dianggap tidak sepadan dengan keuntungan masif yang diperoleh, apalagi jika ada "jalur khusus" untuk meringankan atau bahkan menghilangkan jerat hukum.
Dampak Sistemik:
Ekonomi & Investasi (Perspektif Ekonom): Ketidakpastian hukum menciptakan "high-cost economy". Investor, baik domestik maupun asing, ragu menanamkan modal jangka panjang karena risiko sengketa bisnis yang tidak dapat diselesaikan secara adil dan transparan. Biaya informal untuk "pengamanan" hukum menjadi beban yang menurunkan daya saing nasional.
Sosial & Kepercayaan Publik (Perspektif Sosiolog): Ketika hukum bisa dibeli, kepercayaan publik terhadap seluruh institusi negara runtuh. Masyarakat menjadi apatis dan sinis, memandang pelanggaran sebagai hal yang lumrah selama seseorang memiliki sumber daya untuk "menyelesaikannya". Ini mengikis kohesi sosial dan menumbuhkan budaya permisif terhadap korupsi.
Pertahanan & Posisi Global (Perspektif Pakar Pertahanan): Negara dengan penegakan hukum yang lemah memiliki daya tawar yang rendah di arena internasional. Indonesia rentan dieksploitasi oleh aktor asing dalam sengketa dagang, investasi, hingga klaim teritorial karena dianggap tidak memiliki sistem peradilan yang kredibel untuk membela kepentingan nasionalnya.