Terdapat setidaknya 17 jenis instrumen alat musik Jawa Kuno yang tertoreh pada relief di dinding candi Borobudur. Sebut saja, ada alat musik kenong dan kelompok ansambel tabeh-tabehan, atau disebut tabuh-tabuhan atau tetabuhan, yang bermakna sesuatu yang ditabuh, dibunyikan dengan dipukul.
Dalam konteks inilah, nilai-nilai peradaban yang sudah jelas terdokumentasikan di artefak relief-relief candi, penting untuk terus digaungkan. Bahkan, sangat mungkin masih banyak pengetahuan baru peradaban manusia masih tersimpan, dan belum ditemukan di bagian artefak lainnya.
Selama kurun waktu tiga dasawarsa sejak diakui UNESCO (1991), mestinya gaung candi Borobudur sebagai the wonderful of Indonesia lebih menggema dan meluas. Kekayaan sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya, semestinya lebih tereksplorasi dengan massif. Apalagi, tidak semua orang bisa berkesempatan langsung menikmati dan menyelami keindahan dan kekayaan warisan budaya leluhur ini.
Menggali Episentrum Peradaban Dunia dari Kekuatan Musik Etnis
Sebagai sebuah obyek sejarah dan destinasi wisata budaya, tidak jarang memang candi Borobudur menjadi latar belakang atau setting. Baik untuk kepentingan pribadi seperti untuk spot swafoto, atau bagus untuk momen pre-wedding.
Selama ini, Borobudur juga sering jadi obyek ilustrasi pendukung untuk kepentingan komersial. Seperti jadi latar untuk video musik (video clip) dan film, atau iklan bisnis maupun sosial. Selebihnya, menjadi tempat untuk kegiatan riset, field trip, atau studi wisata sejarah.
Tentu saja, kekayaan peradaban dalam candi Borobudur tak sekadar untuk dinikmati sesederhana itu. Ibarat kata, masih banyak nilai budaya yang terserak di candi Borobudur. Masih banyak pula yang sebenarnya masih terpendam, di balik kekayaan seni-budaya pada setiap pahatan reliefnya. Penggalan-penggalan hasil peradaban yang sebenarnya bisa menjadi 'kitab' utuh jika dikumpulkan dan dipertalikan satu sama lain.
Memahami dan menggali lebih mendalam soal relief candi Borobudur, maka bisa menjadi project untuk bisa lebih menggambarkan eksistensi serta gaung dan daya pikatnya. Bahkan, saking kayanya nilai dan sejarah yang ada dalam candi, mungkin bisa menjadi obyek eksplorasi khazanah budaya nusantara dan peradaban dunia sepanjang masa, khususnya pusat musik dunia.
Agar candi Borobudur bukan sekadar benda mati warisan peninggalan budaya leluhur, maka harus banyak-banyak digali lebih mendalam. Selain tetap dinarasikan dalam berbagai literatur, juga perlu juga sering-sering dikisahkan dan dipertontonkan, dengan sentuhan artifisial dan visualisasi yang menarik. Salah satunya, dengan pendekatan etnomusikologi dan pertunjukan musik kolaboratif yang juga bisa lebih diterima semua bangsa dari semua kalangan usia.
Mengapa harus dari musik? Pilihan etnomusikologi ini memang tepat, karena adanya bukti artefak alat-alat musik etnis yang ada di relief candi Borobudur. Jika ditelusuri, alat-alat musik etnis yang ada di berbagai negara ini juga punya kemiripan dan kesamaan. Kesamaan yang tentu saja bisa menyatukan keragaman budaya dan peradaban universal.
Apalagi, kecintaan dan pemaknaan pada warisan musik etnis dan tradisional terus mengalami degradasi. Ada fenomena, bahwa musik etnis tidak banyak disuka, bahkan tidak dikenali sama sekali sebelumnya. Paling kerap didengar adalah alunan kecapi dan rebana (musik etnis Sunda), juga kendang dan seruling (Jawa-Sunda), atau gamelan (Jawa). Musik dengan iringan angklung misalnya, sudah jarang didengar beberapa waktu terakhir.