Sebuah ilustrasi saja, alat musik sape dari etnis asli Dayak, Kalimantan Barat, kini menjadi daya tarik banyak orang. Sape, yang juga punya sebutan lainnya seperti sampe, sapek, atau sampek, sudah bisa membangun kesadaran akan kekayaan etnisitas dan kearifan lokal lainnya. Kesadaran yang kemudian diharapkan bisa menumbuhkan kecintaan dan rasa memiliki kekayaan budaya bangsa.
Belum lama ini misalnya, lagu dari proses kreatif bermusik etnis dari sampe yang ditunjukkan musisi asal Malang Jawa Tumur, Redy Eko Prastyo, telah memantik apresiasi dunia. Yakni, penampilan Duo Ethnicholic bersama Anggar sebagai vokalisnya, yang akhirnya menjadi penampilan terbaik festival yang digelar di Italia. Redy Eko sendiri merupakan penggagas komunitas budaya Jaringan Kampung Nusantara (japung), yang memang banyak menggeluti musik-musik etnis Tanah Air.
Lain halnya, seniman Ki Djumali, yang juga dikenal sebagai dalang Wayang Wolak-walik asal Malang, selama ini juga menggunakan alat tetabuhan saat acara pentas seni, yakni tamborin, atau tambur kecil. Ia juga kerap mengenakan alat musik gongseng di kaki untuk menghasilkan perpaduan ritmis dalam aksi pertunjukannya.
Sebagai seniman tradisional, beberapa kesempatan pementasan di luar negeri memang belum sempat terwujud. Akan tetapi, ia mengaku sudah pernah berkolaborasi dengan sejumlah seniman luar negeri. Tawaran pentas ke Eropa dan Selandia Baru pernah didapatkan, meski akhirnya kandas karena terkendala.
Dua contoh musisi yang bermain dengan alat musik etnis di atas menunjukkan, bahwa dari bermusik etnis yang dimainkan bisa menyuarakan peradaban dan kekayaan Indonesia ke dunia luas. Dengan demikian pula, memvisualisasi kekayaan musik etnis yang digali dari relif-relif candi Borobudur, akan bisa melahirkan peradaban lebih universal dengan menjadi Pusat Musik Dunia.
 (*)