Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Kuno di Era Digital

25 Maret 2018   16:29 Diperbarui: 25 Maret 2018   17:11 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ensiklo.com

Oleh karena itu, saya dibuat penasaran oleh penulis tadi. Mengapa ia tetap menulis pakai tangan? Padahal, ia lulusan luar negeri. Tentu ia bukan golongan kaum yang gagap teknologi.

"Naskah ini saya tulis agar kita sama-sama menjaga orisinalitas-nya, Pak." katanya. "Nanti penerbit harus mengetik tulisan saya dan naskah ini tetap menjadi manuskrip yang harus dikembalikan jika kontrak telah usai. Sebab, tulisan ini sebagian besar berasal dari observasi dan penelitian yang saya lakukan bertahun-tahun."

Pada akhirnya saya memahami jalan pikirannya dan menghargai keteguhan pendiriannya.

Tapi, saya tidak tahu, apakah ia juga mengetahui bahwa naskah-naskah yang sudah diterbitkan tetap rawan dari aksi pembajakan? Apalagi jika naskah itu dalam bentuk PDF, akan dengan mudah di-replikasi, diubah dan disebarkan tanpa bisa dikontrol dan di-validasi.

Untungnya, sekarang sudah ada sistem proteksi dengan menggunakan DRM (Digital Rights Management). Teknologi ini utamanya untuk melindungi buku-buku digital. Yaitu, dengan melalui kontrol kriptografi dan mengatur penggunaan media digital pengguna. Kriptografi ini berfungsi untuk menjaga agar data buku tetap aman pada saat dikirimkan dari pengirim ke penerima data. Kriptografi adalah aspek yang paling vital untuk menjaga keamanan informasi seperti kerahasiaan data, keabsahan data, integritas data, serta autentikasi data.

Kita tahu, beberapa penulis memiliki alasan berbeda untuk tidak memanfaatkan perangkat berteknologi tinggi. Bukan melulu untuk aspek keamanan saja.


Sebagian dari mereka memercayai bahwa proses kreatif dalam penulisan justru didapat dengan cara menjauhkan diri dari televisi, komputer, smartphone, dan berbagai perangkat teknologi tinggi, meski bisa jadi itu juga membuatnya menjadi membeku dan soliter. Pendekatan kreatif mereka akan diperoleh dari proses membaca dari sumber asli, dan dari proses merenung atau melalui kontemplasi. Itu sebagai jalan untuk mengembangkan diri dan membuat penemuan-penemuan dengan mengoptimalkan imajinasi.

Saya juga memiliki beberapa teman penulis yang mendisiplinkan diri dengan cara menjauhkan diri dari smartphone dan pantang untuk mengutip naskah dari potongan informasi dari internet. Pembiasaan kejam itu dilakukan, baik ketika ia menulis buku-buku fiksi maupun non fiksi.

Begitulah beberapa penulis "kuno" bekerja. Mereka masih menggunakan metode satu abad silam. Dan, mereka harus mengeluarkan cukup banyak uang untuk belanja buku sebagai referensi utama.

Saya tentu tak sanggup mencontoh jalan hidup seperti itu. Saya terlalu lemah untuk menjauhi perangkat gadget dalam kegiatan sehari-hari. Saya juga berat hati jika menganggap alat-alat itu sebagai racun yang membunuh kreativitas kita sebagai penulis. Dan saya sudah telanjur. Saya justru senang munculnya penulis-penulis muda yang mengoptimalkan gadget untuk melahirkan tulisan-tulisannya.

Seminggu kemudian penulis tadi menelpon saya lagi, untuk janjian bertemu. Ia begitu percaya diri dan bicaranya sangat lantang, mungkin dari jarak 10 meter orang sudah bisa mendengar suaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun