Hujan, 24 Februari
Mbah Har,
Banyak yang telah berubah. Aku lupa kapan terakhir menjauh dari langit ini. Hanya yang pasti sang waktu masih menjaga tempat ini, menjaga tetap setia hingga saat ini.
Sangat hati-hati aku akan mengatakan "Walaupun angin tak nampak, namun selalu memberi kesejukan". Dan sama hati-hatinya pula aku berujar "Aku melihat cahaya yang menerangi walaupun samar tak tersentuh tangan".
Detik pertama aku lewati dengan duduk di balik setir mobil. Aku biarkan aku menjadi milik-Nya. Aku biarkan diriku karena aku sedang bisa meniti diantara sejuta pohon cemara.
Sungguh aku sedang jatuh dalam nostalgia. Dan detik kedua aku masih belum bergeming. Hanya saja, aku tidak tahu sedang bahagiakan, atau sedihkah aku di sini. Sementara perasaanku menyeringai tiap jengkal tanahnya, sementara hatiku berbicara tentang hatiku dan hatimu.
Detik ketiga, aku belum bosan. Ada yang belum berubah. Aku bicara ada yang belum berubah masih dari balik stir mobilku. Dengan sedikit menghela nafas panjang, aku mulai petualangan panjang ini. Mengeruk keyakinan yang tak pernah berubah, bahwasanya dunia ini sempit yang mempertemukan langit penglihatanku pada langit yang sama...dulu dan sekarang.
Detik berikutnya aku mengulum pandangan mata. Aku biarkan terpejam, tapi bukan berarti mengantuk (maklum baru saja menempuh perjalanan panjang dari barat sana). Aku memejankan mata untuk melihat jari mataku mengungkapkan ketertenggelamannya, menghentikan jalan waktu sementara untuk melihat bayang wajah...bayang wajah.
Sejurus lamanya aku luruskan tangan dan luruskan kaki. Aku perlu teman untuk menemaniku melangkah pergi malam ini...malam ini, karena hari ini belumlah larut.
Tepat tanggal 24 Februari, tetapi bukanlah sama dengan waktu kemarin.
Aku buka jendela mobil. Ditarik tiba-tiba, tertelanjangi bau harum menyeruak wangi. Berlari mengelilingi tanah di bumi ini. Melayang terlintas jagad raya menari cinta. Sesekali aku merasa mataku buta berbicara logika. Yaa Allah apa yang terjadi dengan jiwaku?