Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Bapak dan Anak (Membayangkan Pandangan)

26 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 26 Mei 2023   17:58 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MEMBAYANGKAN PANDANGAN

MBAH HAR - WAHYU

Coba bayangkan, bayangkanlah...itulah Bapak Nur minta pada Nur untuk membayangkan. Lihat baik-baik,baru ucapkan serta pantau di mana memandang bagaimana kemarin sudah memandang. Pandang lagi, perlahan dengan sedikit permintaan dimana luluskan pinta ini.

Begitulah dan beginilah persyaratankan ketika Bapak Nur mengajak Nur untuk keluar lagi. Sekali lagi keluar, pastilah ke suatu tempat dimana pula itu sebuah rentetan akan diceritakan pada Nur.

"Oke....deh!"

Oke deh jawab Nur.  Mau kalau hanya sekedar untuk memandang. Tak perlu diminta sudahlah memandang, setiap hari sudah katanya dan katanya dengan senyum mengeringah.

Tak perlu dengerin, tak perlu diperbincangkan. Buat Bapak dan anak mereka telah merebut tempat dimana akan menghiasi daftar perjalanan mereka. Mereka telah ada di suatu tempat kini, hanya mereka berdua di lapangan yang telah mereka daftar.

"Ini yang aku cari, Pak!"

Sepenuhnya....sepenuhnya dianggap sampai di puncak. Terperosok habis ke lumpur-lumpur pasir, rasakan tenaga juga dahaga, rasakan pemulihan energi berkibar di puncaknya. Temukan produksi alami di sini.

"Ini cocok karo impen, Pak!"

"Kamu besok ada acara Nur?"

Menggeleng, berarti tidak. Tidak, inikan sabtu siang menuju sore. Selepasnya akan menghadirkan sunset dan selanjutnya hadir senja menuju malam dengan bintang dan bulan. Seterusnya datang kembali dan seterusnya.

Nikmati saja dulu, butiran pasirnya yang lembut. Hamparan padang pasir menganak di sepanjang sisi luar, juga birunya di dalam sana akan terlihat dengan suburnya sedang tumbuh dan berkembang.

"Pak...bolehkah aku berenang?"

Tidak...tidak untuk saat ini. Tidak untuk saat ini bukannya karena tak bawa ganti pakaian, tapi karena belum bisa gantikan padahal kita perlu sesuatu yang baru untuk ditemukan. Terus aja memandang, suatu ketika mungkin kita tak memandangnya lagi.

Cukuplah...nggak ada komplain hari ini. Tak mengapa buat Nur, yang lebih berarti telah digelar acara menarik untuknya. Setidaknya tangkap sarat hembusan angin pantai. Serahkan syarat sejuk dan damainya yang banyak orang perebutkan. Temukan sisi beningnya dimana sering tersembunyi diantara kesibukan dan keruwetan mayapada ini saling beradu cepat memperebutkan banyak hal.

Setiap helai nafas menyatu bersama helaian rambut diterpa angin laut. Setiap helai hati menari akan halnya nyiur melambai-lambai. Setiap saat  akan terhelai merasakan pemandangan biru terpancarkan ke permukaan.

"Apa yang kau lihat Nur?"

Pendek KATA...apa yang ada di laut. Mulai dari pelancong, lain juga pedagang yang menjajakan barang. Mulai dari helaian nafas ombak hingga desahan sampah-sampah plastik tak tepat pada tempatnya. Mulai dari deburan ombak hingga deburan debu yang tak kalah serunya.

"Coba pandangi apa yang kau lihat Nur!"

Coba pandangi, terjadilah barengan dengan jalan yang tak terpisahkan. Menyusur pantai, menapaki tapak-tapak kaki raksasa dengan kaki-kaki yang terasa kecil. Pelan dengan tatap mata tajam dan pasti. Lepaskan dengan sederet penghayatan untuk menghayati arti pandang yang tak kunjung terjawab Nur.

Pamitlah dulu...pamitlah dulu, kata Bapak Nur sebelum nikmati di siang hari ini. Takkan pernah rasakan sebelum apa yang terjual dan terbeli disingkirkan. Coba dekatkan rasa, pasang ketujuh indera yang ada. Gunakan segenap penyesalan, terapkan dalam degup dan akhir darah yang menggelora memanjang dan membusur sealiran denyut nadi. Rasakan dinginnya, rasakan pula panasnya. Hidupkan kedekatan jawabnya.

Nur akhiri pengembaraan hanya menggeleng, artikan masih belum paham. Lalu Bapak Nur meminta sekali lagi pandangi sepenuh hati. Hindari pandangan yang belang-belang dan separuh hati, kau takkan temukan apa termasuk debu berdansa sekalipun.

Lihat...speed boat itu? Tampak kecil jawab Nur. Berapa banyak terlihat di dalamnya? Tak tahu jawab Nur. Lantas selanjutnya dan selanjutnya seberapa banyak ombak telah menggelung pasir pantai, jawabnya juga tak tahu.

Masih ada lagi, seberapa cepat atau seberapa lambat nanti suatu saat akan kenali jawabnya. Mungkin saat ini belum kenal, pada saatnya nanti akan sangat-sangat memahami dan mampu mengadopsinya dalam hidup dan kehidupan, hanya waktu yang akan memberi jawabnya.

"Masih ingin di sini?"

Yaaa...Nur menjawab. Diajaknya duduk di bawah pohon nyiur. Di sana, di sana yang ada bangkunya sehingga kita bisa bersandar dan menikmati belaian nyiur yang sesaat saja akan menjemput dalam kesendirian. Dan disaat itu sebetulnya kita tak sendiri, di situ ada banyak hal yang tak dimengerti dan bisa dimengerti.

Duduk di samping, arahkan pandangan dengan mencoba pusatkan segenap daya pikiran. Ambil dan jemput dan bila ditemui, berati kita baru bisa melihatnya. Sekedar melihat tak lebih dari untuk mengerti.

Kita...kata si Bapak Nur, tak usah dan tak pedulikan orang-orang memandang dibalik kacamatanya. Mereka tak tahu apa yang kita pedulikan, begitu pula sebaliknya mereka tak pedulli dengan urusan kita. Untuk sementara tinggalkan mereka, kita kejar apa yang terjadi dan saling mengejar menghempaskan barang mereka yang kalah dalam persaingan.

"Kau lihat buih itu, Nur?"

Buih itu ada yang mencapai dinding-dinding pohon nyiur, ada pula yang tidak sama sekali. Ada pula diantaranya menghantam batu dan bebatuan sebelum sampai ke bibir pantai. Ada pula yang terhempas sebelum mengenal pantai, ada pula yang terkenang menempuh dalamnya dinding hati.

"Apa yang dapat kau simak, Nur?"

Tak ada...tak ada, sebaliknya Bapak Nur bilang bukannya tak ada, tetapi sebuah gerai belum terbuka. Belum bisa menyibaknya, lain hati mungkin dilain kesempatan juga waktu akan hadir di lain hati pula. Jadikanlah daftar pencarianmu di kelak kemudian hari bila kau telah berangkat dati tempat duduk. Memulai dari merengkuh, lepaskan selimut dingin dan mulailah berlari-lari dan istirahat dengan nyaman tanpa pernah terasa capek dan lelah.

Terus pandangi...tatapi dan renungi, selanjutnya selami percikan yang dihadiahkan. Hadapi uapnya yang tertiup hembusan tanpa terasa berat mengingat saat terbang, mengingat saat menjauh dan entah kapan mampu bersayap sedangkan mungkin dia tahu sendiri takkan mungkin pernah bersayap sedangkan mungkin burung enggan berbagi.

Ikuti...ikuti dibawanya terbang. ikuti dan buntuti ke mana angin membawa. Ikuti dengan gerak batin, barengi pula dengan gerak lahir. Jangan separuh-separuh atau setengah-setengah, kau takkan temukan apa-apa, kecuali rasa lelah yang menukar sikap yang telah diambil.

Tak ada banyak kata dari Nur, yang ada banyak gelengan sementara banyak senyum dari Bapak Nur. Suatu pemandangan yang kontras, tapi disitulah sebagian Bapak Nur ceritakan dimana cerita ini hanyalah cerita bagi mereka yang ingin mendengarkan dan menyantapnya sebagai sesuatu yang tak sebagaimana mestinya disaksikan. Mungkin cerita ini adalah cerita yang mengada-ada, tetapi tetaplah ada sebelum segalanya terwujud dalam waktu singkat.

"kau lihat Nur...tempat di seberang pantai sana?"

Lihat jawabnya. Lihat jelas dengan mata terbuka. Begitu jelas saat ombak-ombak menghantamnya. Jelas saat ombak-ombak melengking ke udara dan kembali ke laut. Jelas saat itu gemuruhnya memenuhi seantero penjuru langit.

Mungkin ingin diumumkan pada semua,  semua agar mendengar. Mungkin biar semua tahu, tapi apakah mereka yang di balik gunung sana mendengarnya?

Nur hanya menggeleng. Dijawab Bapak Nur dengan sebuah anggukan, ulatpun tahu karena mereka mendengar. Sedikit keberanian untuk menggantikannya dalam bentuk dan wujud lain. Untuk mengamankannya sebagai akhir dari hasil apa yang pernah dipertanyakan dalam kutipan tanda tanya. Mulailah ini sebagai cakupan luas dan di sana didapatkan sebuah keluasaan penanggalan hari.

"Sudah jelas dengarkan gemuruhnya?'

Waktu takkan pernah pisahkan, ragu takkan pernah terucap dari mereka untuk mereka pula. Tak pernah tersembunyi dari kita yang melihat, tak pernah terhitung seberapa banyak telah menghantam. Tak ragu, maka akhirnya terpetik bunga di taman sari selama mereka tak ragu.

"Kita ke warung sebelah sana sembari menikmati sunset!"

Mereka, Bapak dan Anak menyisir garis pantai. Mereka bukannya pisahkan dan mengucapkan, tetapi merobah pola cara mereka memandang agar cara dan cahaya pandang mereka sandingkan dapat menyatu. Maka, tak ragu pula Bapak dan Anak mampir di sebuah pemondokan yang ternyata dimaksudkan hanya bertitelkan saja.

Jawabnya Bapak Nur, sambut kemunculannya jauh-jauh hari telah muncul. Jangan pernah anggap nggak ada, justru ada sebelum kita ada. Selesaikan dengan penuh kesadaran, sadarkan dan sadarlah di belakang sana ada titel yang diundang jauh lebih baik daripada kita harapkan. Sesuatu lebih yang terkadang sampai saat ini belum dimengerti.

Kita duduk lagi dan kita memandang lagi. Kita duduk, kita pula berdiri tanpa harus beranjak darimana kita duduk. Kita tidur dan tenggelam tanpa harus menutup mata dan mengubur diri dalam lautan pasir. Kita berayun dalam sikap diam untuk temukan sisi-sisi yang mungkin pernah terucap saat memandang sunset di barat sana.

Mentari yang telah bulat dan utuh. Mentari dengan sinar jingga masih juga lebih tinggi darimana kita berpijak, masih juga terbaring dan terlentang di langit sampai akhirnya dengan sendiri tak lagi menyaksikannya. Hanya kita sendiri belum mencermati kemanakah hilangnya padahal semua telah tahu esok pagi mentari kembali di ufuk timur sana.

Sementara, tinggalkan urusan-urusan lain, tunda dulu. Kita lihat dan kita saksikan sementara kita tinggalkan sejenak kepadatan yang telah ada. Lebih lanjut, lakukan yang ada pada saat ini, jalani saja dan lakoni saja sebagaimana mestinya.

Mestinya dan lain sebagainya Bapak Nur dan Nur menurunkan bekas pandangnya. Mereka lihat rumput-rumputan yang tetap hijau, daun-daun yang tetap hijau pula. Ranting-ranting dan daun kering luruh, embun pagi esok harinya menetes dari pucuk-pucuk daun.

Seribu seratus dan lusinan di kepala mereka. Satu dua dan tiga yang bermain dan bernyanyi. Sepintas, hitungan belasan dan sementara diaturnya berlari dan bersunyi diri. Keteraturan membuat apa yang membuat keterakhiran menjadi lebih teratur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun