Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Bapak dan Anak (Membayangkan Pandangan)

26 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 26 Mei 2023   17:58 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menggeleng, berarti tidak. Tidak, inikan sabtu siang menuju sore. Selepasnya akan menghadirkan sunset dan selanjutnya hadir senja menuju malam dengan bintang dan bulan. Seterusnya datang kembali dan seterusnya.

Nikmati saja dulu, butiran pasirnya yang lembut. Hamparan padang pasir menganak di sepanjang sisi luar, juga birunya di dalam sana akan terlihat dengan suburnya sedang tumbuh dan berkembang.

"Pak...bolehkah aku berenang?"

Tidak...tidak untuk saat ini. Tidak untuk saat ini bukannya karena tak bawa ganti pakaian, tapi karena belum bisa gantikan padahal kita perlu sesuatu yang baru untuk ditemukan. Terus aja memandang, suatu ketika mungkin kita tak memandangnya lagi.

Cukuplah...nggak ada komplain hari ini. Tak mengapa buat Nur, yang lebih berarti telah digelar acara menarik untuknya. Setidaknya tangkap sarat hembusan angin pantai. Serahkan syarat sejuk dan damainya yang banyak orang perebutkan. Temukan sisi beningnya dimana sering tersembunyi diantara kesibukan dan keruwetan mayapada ini saling beradu cepat memperebutkan banyak hal.

Setiap helai nafas menyatu bersama helaian rambut diterpa angin laut. Setiap helai hati menari akan halnya nyiur melambai-lambai. Setiap saat  akan terhelai merasakan pemandangan biru terpancarkan ke permukaan.

"Apa yang kau lihat Nur?"

Pendek KATA...apa yang ada di laut. Mulai dari pelancong, lain juga pedagang yang menjajakan barang. Mulai dari helaian nafas ombak hingga desahan sampah-sampah plastik tak tepat pada tempatnya. Mulai dari deburan ombak hingga deburan debu yang tak kalah serunya.

"Coba pandangi apa yang kau lihat Nur!"

Coba pandangi, terjadilah barengan dengan jalan yang tak terpisahkan. Menyusur pantai, menapaki tapak-tapak kaki raksasa dengan kaki-kaki yang terasa kecil. Pelan dengan tatap mata tajam dan pasti. Lepaskan dengan sederet penghayatan untuk menghayati arti pandang yang tak kunjung terjawab Nur.

Pamitlah dulu...pamitlah dulu, kata Bapak Nur sebelum nikmati di siang hari ini. Takkan pernah rasakan sebelum apa yang terjual dan terbeli disingkirkan. Coba dekatkan rasa, pasang ketujuh indera yang ada. Gunakan segenap penyesalan, terapkan dalam degup dan akhir darah yang menggelora memanjang dan membusur sealiran denyut nadi. Rasakan dinginnya, rasakan pula panasnya. Hidupkan kedekatan jawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun