Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faktanya, Ibu Bukan Sekolah Pertamaku

5 Desember 2020   06:47 Diperbarui: 5 Desember 2020   06:50 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca event yang diadakan kompasiana ini membuat aku mencoba meraih-raih mozaik kenangan yang dulu pernah ada. Aku berusaha menjangkaunya, namun kenangan-kenangan itu seperti planet, mereka terbang di sekelilingku tanpa mau menyentuhku. Dalam mata mereka, mungkin aku adalah sebongkah matahari dalam galaksi Bima Sakti.

Tapi event ini juga membuat aku berpikir lebih dalam lagi tentang ibuku; siapa aku? Siapa dia?Apa benar aku adalah anaknya? Apa benar dia adalah ibuku?

Jujur aku sering melihat ibu orang lain begitu so sweet dengan anaknya, tapi aku sudah 19 tahun sekarang dan kejadian yang paling membekas adalah saat aku mentackle anak orang dan lepas itu pantatku memerah karena amukan sabuk. Rasanya perih, benar, membayangkan kejadian itu terulang kembali seolah memanggil burung ababil untuk melempariku dengan batu.

Namun semakin bertambahnya zaman, aku bersyukur ketika ibuku melakukan hal itu, sebab aku mendapatkan pelajaran kalau ternyata mentackle kaki orang adalah perbuatan dosa. Hal itu juga membuat aku mengetahui fakta bahwa sejatinya, para pemain bola adalah manusia-manusia yang tidak pernah dipedulikan orangtuanya.

Ibuku pernah bercerita bahwa aku kecil suka menangis ketika malam hari, dari Isya sampai jam 3 malam, dan mengetahui aku masih hidup hingga saat ini adalah sebuah keajaiban. Kenapa aku berkata seperti itu? Biar aku jelaskan mengapa....

Dalam pandangan sebagian orang, anak adalah masalah, ketika aku kecil aku pernah melihat anak bayi yang membusuk di aliran sungai, ketika diletakkan di darat, tubuhnya yang membuat kami tidak berani mendekat itu dikerubuni lalat, sementara di berita aku pernah menyaksikan kalau ada seorang ibu yang menyemen anaknya sendiri di lantai rumahnya, ketika diwawancarai, ia berkata bahwa ia tidak memiliki uang untuk membesarkan anaknya.

Aku suka memperhatikan ibuku dan bertanya mengapa hal yang sama tidak terjadi kepada ku. Dengan tubuhnya itu, ibuku bisa melakukan hal yang serupa, ia bisa menyemenku di lantai rumah agar orang tidak akan ada yang tahu. Atau ia bisa menitipkan aku di panti asuhan supaya tidak merepotkannya. Bukankah hal-hal itu begitu mudah untuk dilakukan? Tapi kenapa ibuku tidak melakukannya?

Jika kita meruntut kepada data, hal ini sangat sederhana sebab pada tahun 2013, Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi menyebutkan bahwa sekitar 2,1 -- 2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi. Dan sebanyak 30 persen di antaranya dilakukan remaja. Anak-anak yang lahir dalam kesalahan kemudian membusuk di aliran sungai bisa jadi adalah hasil dari kebodohan ibu itu sendiri. Bila bukan hal itu, maka itu pembunuhan yang dilakukan orang miskin atas nama cinta.

Hal-hal itu sering membuat aku bertanya; Apa cinta bisa dijadikan alasan untuk melempar anak kita ke selokan? Apa itu adalah tindakan dosa? Sebab yang melempar itu bisa jadi tidak memiliki makanan atau uang yang cukup untuk membesarkan bayi mereka. Jadi dengan cinta, ia melemparkan anaknya kepada takdir tuhan, seperti Musa yang dilempar ibunya ke sungai sungai Nil, atau Monosuke yang ditinggal ibunya agar tidak dimakan Oni. 

Kalau dipikir-pikir itu memang tindakan bodoh karena semua manusia bukanlah nabi, tapi apapun tindakannya, cinta tetaplah cinta, dan akan selalu seperti itu.

Bila merenggut semua mozaik kenangan-kenangan yang ada, aku mengetahui fakta bahwa dalam sejarah hidup yang aku jalani, ibuku tidak terlalu berperan dalam mengajar seperti yang diajarkan sekolah, tidak ada teori ataupun pelajaran matematika, hal itu mungkin disebabkan bahwa ia hanya tamatan kelas 3 Tsanawiyah (Di dunia yang penuh munafik ini, kalau kamu tidak memiliki gelar atau ijazah, berarti kamu bodoh). 

Jadi Yang mendidikku adalah ayah, sementara ibuku hanya akan berkutat dengan peralatan dapur, memotong bawang dan cabai, mengulek terasi, meremas jeruk nipis agar rasa sambalnya lebih nikmat, lalu sentuhan terakhir adalah potongan terong bundar juga ikan pindang yang sudah di goreng akan diletakkan diatas cobek, aromanya akan menggoda ayahku untuk memakan dengan lahap. Dan ketika hal-hal itu menyentuh lidahmu, rasa pedas akan menyatu dengan syaraf lidah, wajahmu akan memerah tapi kamu tidak akan pernah bisa berhenti memakannya.

Dulu aku selalu menganggap ibuku lemah. Hal itu karena ia selalu peduli dengan masalah orang lain, membantu mereka yang kekurangan, dan terkadang menangis bila mendengar orang lain bercerita. Namun ia tetap tersenyum, seperti mengatakan kepada dunia bahwa semua akan baik-baik saja. Namun faktanya, Dunia tidak pernah baik-baik saja.

Maka jika Kompasiana memberikan tema 'Ibu Sekolah Pertamaku', mungkin aku akan menggaruk-garuk kepala, karena sekolah formal pertamaku adalah ayah. Satu-satunya peran yang ibu lakukan kepadaku adalah bahwa ia berperan penting dalam mengajarkan aku menjadi manusia. Ibu telah membentuk karakter diriku agar mengetahui bahwa manusia bukanlah sekedar nilai dan angka, melainkan cara berperilaku. Mungkin itu terdengar mengerikan saat dimana akhlak dan kemanusiaan tidak bisa diijazahkan. Dan lebih mengerikannya lagi ibu kita tidak mendapatkan gaji untuk hal itu.

Terlepas dari semua perlakuan sang ibu terhadapku, aku hanya bisa bersyukur. Aku bersyukur lahir dari keluarga ini, tidak kaya dan tidak miskin, cukup. Sebab rumah yang tak besar ini menjadikan kami tidak memiliki jarak satu sama lain sehingga tidak pernah ada fitnah diantara kami, semua masalah entah itu kecil atau besar, selesai di rumah ini. 

Dan sekarang ketika aku telah dewasa, ketika senyuman tanda kelemahan itu menembus awan sukma ku, aku mengerti bahwa yang membuat matahari berarti bagi bumi adalah cahayanya, sebab cahayanya yang membuat kita bersinergi, cahayanya yang membuat sang mentari berarti.

Aku percaya bahwa setiap perempuan memiliki rahim dalam perut mereka, namun tidak semua rahim ada dalam hati mereka. Dan tentu saja, hal yang paling aku syukuri adalah, ibuku memilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun