Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faktanya, Ibu Bukan Sekolah Pertamaku

5 Desember 2020   06:47 Diperbarui: 5 Desember 2020   06:50 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi Yang mendidikku adalah ayah, sementara ibuku hanya akan berkutat dengan peralatan dapur, memotong bawang dan cabai, mengulek terasi, meremas jeruk nipis agar rasa sambalnya lebih nikmat, lalu sentuhan terakhir adalah potongan terong bundar juga ikan pindang yang sudah di goreng akan diletakkan diatas cobek, aromanya akan menggoda ayahku untuk memakan dengan lahap. Dan ketika hal-hal itu menyentuh lidahmu, rasa pedas akan menyatu dengan syaraf lidah, wajahmu akan memerah tapi kamu tidak akan pernah bisa berhenti memakannya.

Dulu aku selalu menganggap ibuku lemah. Hal itu karena ia selalu peduli dengan masalah orang lain, membantu mereka yang kekurangan, dan terkadang menangis bila mendengar orang lain bercerita. Namun ia tetap tersenyum, seperti mengatakan kepada dunia bahwa semua akan baik-baik saja. Namun faktanya, Dunia tidak pernah baik-baik saja.

Maka jika Kompasiana memberikan tema 'Ibu Sekolah Pertamaku', mungkin aku akan menggaruk-garuk kepala, karena sekolah formal pertamaku adalah ayah. Satu-satunya peran yang ibu lakukan kepadaku adalah bahwa ia berperan penting dalam mengajarkan aku menjadi manusia. Ibu telah membentuk karakter diriku agar mengetahui bahwa manusia bukanlah sekedar nilai dan angka, melainkan cara berperilaku. Mungkin itu terdengar mengerikan saat dimana akhlak dan kemanusiaan tidak bisa diijazahkan. Dan lebih mengerikannya lagi ibu kita tidak mendapatkan gaji untuk hal itu.

Terlepas dari semua perlakuan sang ibu terhadapku, aku hanya bisa bersyukur. Aku bersyukur lahir dari keluarga ini, tidak kaya dan tidak miskin, cukup. Sebab rumah yang tak besar ini menjadikan kami tidak memiliki jarak satu sama lain sehingga tidak pernah ada fitnah diantara kami, semua masalah entah itu kecil atau besar, selesai di rumah ini. 

Dan sekarang ketika aku telah dewasa, ketika senyuman tanda kelemahan itu menembus awan sukma ku, aku mengerti bahwa yang membuat matahari berarti bagi bumi adalah cahayanya, sebab cahayanya yang membuat kita bersinergi, cahayanya yang membuat sang mentari berarti.

Aku percaya bahwa setiap perempuan memiliki rahim dalam perut mereka, namun tidak semua rahim ada dalam hati mereka. Dan tentu saja, hal yang paling aku syukuri adalah, ibuku memilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun