Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal, saya makan di sebuah warung makan sederhana dekat kampus. Warung itu sudah lama saya kenal, sering juga saya mampir buat makan siang setelah kuliah. Setelah selesai makan, saya memberanikan diri untuk mewawancarai dengan ibu pemilik warung. wawancara sederhana itu ternyata membuka banyak cerita. Ia bilang, sekarang berdagang semakin sulit. Harga beras, cabai, minyak goreng, bahkan telur naik terus, tapi ia tidak bisa langsung menaikkan harga jual karena takut kehilangan pelanggan. “Kalau harga saya naikkan, mahasiswa bisa pindah ke tempat lain. Tapi kalau tetap segini, kadang saya malah rugi,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga cerita kalau semakin banyak mahasiswa sekarang lebih suka nongkrong di kafe atau memilih membeli makanan online. Bukan hanya karena tempatnya lebih nyaman, tapi juga ada gengsi tersendiri kalau bisa update di media sosial saat makan di kafe modern, dan banyak juga mahasiswa yang tidak mau keluar dan akhirnya memilih untuk pesan online. “Kalau makan di warung kayak saya, kadang dibilang sederhana,” katanya. Saya agak kaget, karena sebenarnya makanan di warung sederhana justru yang paling pas di lidah dan kantong mahasiswa. Dari wawancara singkat itu saya jadi sadar, pedagang warung makan menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks: bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal stigma sosial.
Menurut saya, pengalaman ini bisa dilihat lewat kacamata “sosiologi public” dari Michael Burawoy. Saya pertama kali tahu konsep ini dari tulisannya For Public Sociology (2005). Intinya, Burawoy mengingatkan bahwa sosiologi jangan cuma berhenti di ruang akademik atau di dalam jurnal yang hanya dibaca sebagian kecil orang, tapi harus nyambung dengan kehidupan masyarakat. Sosiologi publik adalah tentang mendengar suara mereka yang sering tidak terdengar seperti ibu pedagang warung makan tadi dan mengangkatnya supaya jadi bagian dari diskusi publik. Dalam pandangan saya, cerita yang saya dengar langsung ini bisa jadi bahan refleksi lebih luas tentang bagaimana kelompok kecil di masyarakat sering terlupakan di tengah modernisasi.
Fenomena pedagang warung makan yang kalah daya tarik dengan kafe dan restoran besar juga memperlihatkan bagaimana ekonomi kapitalistik bekerja. Warung makan sederhana yang menyediakan makanan murah dan bergizi justru kurang dihargai, sementara restoran besar yang harga makanannya bisa dua kali lipat lebih mahal lebih dianggap bergengsi. Di sinilah peran sosiologi publik menjadi penting: untuk menunjukkan bahwa di balik progres industri kuliner modern, ada kelompok-kelompok kecil yang berjuang keras bertahan hidup.
Michael Burawoy sendiri lahir tahun 1947 di Inggris dan kemudian pindah ke Amerika Serikat. Ia belajar di Cambridge dan melanjutkan studinya di Universitas Chicago. Burawoy banyak melakukan penelitian lapangan, mulai dari buruh di Zambia, Hungaria, hingga Amerika. Dari pengalaman itu ia menyadari bahwa ilmu sosial tidak boleh netral atau hanya dinikmati kalangan akademik, tapi harus berpihak pada mereka yang hidupnya sulit. Konsep sosiologi publik lahir dari keprihatinan itu bahwa pengalaman orang kecil, termasuk pedagang warung makan, harus dilihat sebagai sumber pengetahuan yang sah dan berharga.
Dari pengalaman wawancara ini saya belajar, kalau kita mau sedikit mendengar cerita orang-orang kecil di sekitar kita, sebenarnya ada banyak hal berharga yang bisa direnungkan. Suara mereka mungkin tidak masuk berita besar, tapi lewat kacamata sosiologi publik, justru dari merekalah kita bisa memahami kondisi masyarakat dengan lebih jujur.
Bibliography
Burawoy, M. (2005). For public Sociology. American Sociological Review, 70(1), 4–28.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI