Mohon tunggu...
Swasti
Swasti Mohon Tunggu... Lainnya - Swasti

Hari ini aku belajar dan berlatih merangkai kata, karena aku ingin menjadi seorang penulis kelak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merah, Kuning, Hijau si Buah Kopi: 'Kan Mengharum Hitam di Cangkirmu (5)

18 Maret 2017   18:46 Diperbarui: 19 Maret 2017   04:00 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com

Pada mulanya, ia menjadi petugas mewakili kantor cabang tempatnya bekerja, untuk menawarkan Kredit Usaha Rakyat, yang disingkat KUR. Untuk itu ia rajin berkeliling kampung, bahkan tanpa keberatan menghadiri acara-acara di sini. Juga tentunya, tak lupa ia mengunjung cafe uwak, untuk mencari masukan sekaligus mempromosikan program KUR-nya. Terus terang, apa yang diusungnya, menjadi wacana baru, maklumlah konsep tawaran pinjaman dan urusan perbankan belumlah lazim bagai kami.

Ia rajin memberikan pengarahan bagaimana tata cara untuk mengambil kredit, atau menyusun anggaran beserta proposalnya, ataupun menyiapkan agunan kredit.

Kemarin, ia bercerita tengah mengusulkan pada pimpinan cabang, agar kolateral atau agunan KUR dipermudah, yakni tidak hanya terbatas pada kebun kopi, tapi bisa juga bisa mengagunkan rumah tinggal petani. Alasannya, sering kali ia mendapati banyak petani kopi yang tidak memiliki lahan perkebunan sendiri, melainkan menyewa dari pihak lain.

Bagiku entahlah, karena sepak terjangnya, atau karena penampilannya yang berhasil menawanku.

Wajarlah, kurasa masyarakat sekitar juga tercengang-cengah oleh pendekatannya yang bersahabat. Salah satunya ajakan populernya adalah berlaku pandai dalam perbankan.

Di suatu hari Minggu, aku begitu antusias mengundangnya datang ke rumah, untuk memperkenalkannya dengan abah. Ah, itu karena tadi malam di bangku teras cafe, ia telah berani memegang tanganku, dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Segala kepenatan hidup, kemudian meluluh-lantak dalam kehangatan hujan tatapannya, yang menderas.

***

Mas Imam duduk berhadap-hadapan dengan abah, ditemani secangkir kopi hitam buatanku di atas meja. Aku duduk agak sedikit menjauh, seperti biasa di kursi rotan kesayanganku, sebentar-sebentar aku berdiri ke dapur membantu umi menyiapkan makan malam.

“Bagaimana…  Kemudian….. “ lamat-lamat kudengar suara abah dari pawon kami, juga derai tawa mereka.

Aku menyuguhkan sepiring pisang goreng hangat. Olahan pisang kepok kuning yang kubeli dari warung mak Sapinah tadi pagi.

Sekilas dari lirikan mas Imam, aku tahu bahwa kehadiranku menjadikannya makin bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan abah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun