Mohon tunggu...
Mauliddia Siwi
Mauliddia Siwi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Masa Depanmu

21 Maret 2017   07:54 Diperbarui: 22 Maret 2017   15:00 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejenak bu Aningsih terdiam kemudian menundukan kepala seraya berkata “Apa kamu yakin kalau Madhan yang membawanya? Apa benar yang kamu laporkan pada ibu?”, kata bu Aningsih dengan rasa kecewa. “Saya juga masih tidak percaya dengan apa yang saya lihat bu, ini buktinya saya bawa bu”, ucapnya sambil mengambil bungkus rokok itu dari saku kanan celana birunya. “Nanti sepulang sekolah, ibu mau berbicara dengan Madhan di Ruang Osis, tolong beri tahu dia ya”, ucap bu guru yang sangat menyanyangi Madhan seperti putranya sendiri. “ Ya bu, nanti akan saya sampaikan pada Madhan, baik bu saya pamit ke kelas dulu ya bu, Assalamu’alaikum", ia berkata sambil perlahan meninggalkan bu Aningsih.

"Tok... tok.. tok.. Assalamu’alaikum”, suara pintu yang terketuk di ikuti salam oleh Rama. “Wa’alaikumussalam”, ucap semua yang ada di dalam kelas. Dengan langkah perlahan namun pasti ia menghampiri guru yang sedang berdiri menerangkan “Maaf bu, tadi saya menemui bu Aningsih” katanya menjelaskan. “Iya, silahkan duduk”,  jawab bu Tia sambil mengangguk kemudian Rama berjalan menuju tempat duduknya yang berada di pojok belakang tepat disebelah Madhan.  Tiba- tiba suara kelas hening, mereka semua mendengarkan kembali penjelasan dari bu Tia.  

Mereka larut dan memperhatikan semua yang dikatakan bu Tia hingga bel pulang berbunyi. “Baik anak- anak kita akhiri sekian, selamat siang”, ucap bu Tia mengahiri pertemuan. “Madhan, kamu di tunggu bu Aningsih di Ruang Osis, beliau ingin bicara penting”, Rama memberi tahu Madhan dan tanpa menjawab Madhan bergegas menuju Ruang Osis. Dengan langkah tergesa- gesa sambil berlari kecil dan takut apa bila bu Aningsih sudah menunggunya. “ Madhan!!!”, sapa beberapa siswi di sepanjang jalan dan tidak Madhan hiraukan.

Sesampai di Ruang Osis ia melihat ibu guru yang Ia sayangi merapikan Ruang Osis dan menutup korden yang berwarna hijau lumut serta melihat struktur organisasi yang berada di sebelah timur pintu dengan warna hijau sebagai simbol sekolahnya. “Bu, ada apa? Kata Rama ibu ingin berbicara dengan saya, ada masalah apa bu?”, Madhan bertanya, segera bu Aningsih membalikan badan dan menjawab pertanyaan Madhan. “Iya, ibu ingin berbicara hal penting dengan kamu nak”, kata ibu Aningsih sambil terbata- bata dan kemudian memegang pundak Madhan.

“Nak, tadi Rama bilang dan telah menemukan barang di tas kamu, apa ini barang yang kamu punya?”, ibu Aningsih bertanya sambil menunjukan bungkus rokok yang tadi telah diberikan Rama sewaktu bertemu tadi. “haduh aku harus jawab apa dong? Gimana ini?”, renungnya dalam hati dan bingung harus mengatakan apa. Tiba- tiba air mata Madhan perlahan menetes membasuhi pipinya dan ia hanya bisa terdiam sambil melihat bungkus rokok yang telah ditunjukan bu Aningsih. Ia tidak bisa berkata ataupun mengelak karena telah ada bukti yang jelas.

“Baiklah diammu ibu anggap sebagai jawaban, mulai besok kamu dapat mencari sekolah lain yang kamu inginkan, terimakasih atas jasa- jasa kamu untuk membawa perubahan untuk sekolah kita, mengharumkan nama sekolah kita, dengan berat hati ibu akan melepaskanmu”, ucap bu Aningsih dengan rasa sangat kecewa dan tidak percaya. “Terima kasih bu, maafkan saya karena telah melanggar kepercayaan ibu, maafkan saya bu, sungguh jasa ibu tidak akan pernah saya lupakan, sekali lagi terimakasih bu Assalamu’alaikum" , Madhan mengatakannya dengan rasa sedih yang mendalam dan perlahan meninggalkan bu Aningsih.

Waktu terus berjalan, sudah satu minggu Madhan tidak masuk sekolah tanpa ada kabar ataupun pemberitahuan baik dari keluarga maupun Madhan sendiri. Setiap temannya berkunjung ke rumah Madhan tidak terlihat ada aktifitas di dalam rumah Madhan. Tetangga sekitar rumah Madhan pun juga tidak mengetahui keberadaan keluarga Madhan. “Sebenarnya Madhan kemana sih? Kenapa dia hilang misterus kayak gini? Emang ada masalah apa sih? Kok sampek kayak gini?”, tanya Alex pada teman- temannya “sebenernya aku mau jujur sama kalian, waktu itu aku temukan bungkus rokok pada tas Madhan, kemudian aku melaporkan pada Bunda, dan beliau ingin bertemu Madhan entah apa yang mereka bicarakan ahirnya Madhan di keluarkan secara diam- diam dari sekolah, dan entah kemana Madhan pindah sampai saat ini gak ada yang tahu”, jelas Rama panjang lebar dan semua temannya pun bertanya- tanya apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak percaya atas apa yang dikatakan Rama.  

“Aku gak percaya ahh! Masak iya Madhan tega tinggalin sahabatnya yang  paling ganteng ini, masak dia tega tinggalin bang Alfin?”, ungkap Alfin dan membuat temannya terdiam. Mereka ber empat sepakat untuk menyelidiki kasus ini hingga tuntas. Disaat yang sama Madhan tengah mengikuti seleksi lomba olimpiade tingkat Nasional bidang study Matematika dan dia adalah wakil kota Yogyakarta. Dia terus berdoa agar usaha dan keteguhannya menuai hasil dan mendapat berkah. Tanpa henti Madhan selalu berdoa agar ia dan orang- orang yang menyayanginya senantiasa dilindungi oleh Tuhan.

Kini keluarga Madhan di Yogyakarta tengah diselimuti rasa bahagia. Wajah  pemuda multi talent itu sangat terlihat sumringah namun tidak ada rasa sombong sedikitpun, dia tetap terlihat sederhana dan seperti remaja pada umumnya. Ternyata yang membuat keluarga kecil ini bahagia adalah ditampilkannya berita keberhasilan Madhan meraih juara 1 dalam bidang olimpiade matematika tingkat nasional. Ternyata teman- teman Madhan di Kediri juga melihat tanyangan televisi itu, rasa bangga dan bahagia juga mereka rasakan atas keberhasilan Madhan.

Tahun demi tahun terus berlalu, kini beberapa remaja itu tengah  menempuh jenjang perguruan tinggi. “ya Allah, ampuni dosa hamba, lancarkanlah hamba dalam menuntut ilmu, alirkan rezeki yang barokah pada orang tua hamba, lindungi teman- teman hamba ya Allah”, pintanya dengan ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam usai menunaikan sholat ashar di salah satu masjid dekat rumahnya. Meskipun telah beranjak dewasa, namun sikap yang telah ditanamkan orang tuanya sejak kecil masih melekat pada dirinya. Madhan tetap memiliki prestasi gemilang, sikap sopan santun, dan tetap mendahulukan urusan agama.  

Sore itu sangat cerah, ketika Madhan menyusuri jalan Mallioboro ia melihat seorang pemuda mengenakan pakaian hitam dengan celana jeans panjang lengkap dengan rantai pada kantungnya serta robekan pada bagian paha. Pemuda itu tengah berjalan sambil membawa botol minuman keras pada tangan kirinya. Madhan terkejut melihat siapa pemuda yang tengah berdiri sempoyongan didepannya. “Madhan!! Maafin aku ya, aku banyak salah sama kamu, kamu mau kan ma’afin aku yang hina ini?”, permohonan maaf pemuda itu dan sontak ia langsung bersujud pada kaki Madhan. “ehh kamu apa- apaan sih? Kamu gak ada salah kok sama aku? ”, jelas Madhan dengan kata- kata yang halus sambil membangunkan pemuda itu dari sujudnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun