Mohon tunggu...
Matheuw Iskandar
Matheuw Iskandar Mohon Tunggu... Siswa

Nama Matheuw

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkelana Dalam Diri

12 Agustus 2025   13:42 Diperbarui: 12 Agustus 2025   13:42 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jauh ( Sumber : Dokpri )

kelana itu telah pergi menjelajah dunia selama 5 tahun untuk mencari jati diri.

Lima tahun telah berlalu sejak kelana itu pergi menjelajah dunia. Ia meninggalkan kampung halamannya tanpa janji untuk kembali hanya membawa sepasang kaki yang tak kenal lelah dan hati yang haus akan pengetahuan. Jalan yang ia tempuh tidak pernah memiliki tujuan pasti. Ia melangkah tanpa peta membiarkan langkahnya sendiri menjadi penunjuk arah. Di setiap tikungan, di setiap persimpangan asing, Ia belajar untuk percaya bahwa keraguan hanyalah bayangan dan keberanian adalah cahaya yang memandu.


Ia pulang bukan dengan peti penuh harta atau kisah-kisah hebat yang akan memukau pendengar. Justru yang Ia bawa adalah sesuatu yang tak terlihat mata yaitu  pemahaman. Pemahaman tentang dirinya, tentang dunia dan tentang bagaimana keduanya saling mencerminkan. Kelana itu kembali dengan hati yang lebih lapang dan jiwa yang lebih tenang. Ia tidak datang untuk menceritakan perjalanannya melainkan untuk menghidupi pelajaran yang dipungut di sepanjang jalan. Bagi dia, pulang bukanlah garis akhir melainkan gerbang menuju kisah baru yang tak kalah panjang.


Siang itu, Ia duduk di bawah pohon tua yang akarnya mencengkeram bumi dengan kokoh. Angin kencang berdesir di sela-sela dedaunan membawa aroma tanah yang lembap. Matanya menatap langit biru namun kali ini tatapannya tak lagi dipenuhi gelisah. Ia mengerti bahwa diam pun adalah perjalanan, perjalanan ke dalam diri. Ia merasa pulang adalah bentuk keberanian lain, berani menghadapi kehidupan tanpa harus selalu bergerak, dan berani menetap dengan kesadaran penuh bahwa waktu akan tetap mengalir.


Namun sejatinya, Ia tidak pernah berhenti menjadi kelana. Bedanya, medan yang kini ia jelajahi bukan lagi pegunungan, samudra, atau jalan-jalan asing melainkan lorong-lorong batin yang tak kalah luas. Aku adalah kelana di dalam pikiranku sendiri berjalan menapaki lorong-lorong ingatan yang berdebu. Di sana, waktu tak lagi lurus Ia berputar, melompat, kadang tersandung. Setiap kenangan adalah persimpangan dan aku tak pernah tahu harus memilih yang mana. Dalam perjalanan batin ini, peta hanyalah ilusi sebab arah selalu berubah sesuai perasaan yang menuntunnya. 

Aku adalah kelana di dalam pikiranku sendiri berjalan menapaki lorong-lorong ingatan yang berdebu. Di sana, waktu tak lagi lurus Ia berputar, melompat, kadang tersandung. Setiap kenangan adalah persimpangan dan aku tak pernah tahu harus memilih yang mana.

Kadang aku menjadi kelana di tengah keramaian berpindah dari satu senyum ke senyum lain tanpa benar-benar menetap. Orang-orang menyapaku, namun sapaan itu hanyalah pintu yang tak pernah kubuka. Aku terus bergerak bukan untuk menjauh dari mereka tetapi untuk mencari ruang di mana aku bisa benar-benar diam. Namun diam itu selalu berlari dan aku pun terus mengejarnya, seolah ketenangan adalah cakrawala yang akan terus mundur setiap kali kudekati.


Di malam yang sunyi, aku sadar kelana sejati adalah jiwa yang tak pernah puas tinggal di satu titik makna. Ia menyeberangi samudra waktu, menembus hutan pikiran, dan mendaki gunung-gunung rasa. Meski tubuhku mungkin akan berhenti suatu hari nanti, jiwaku akan tetap berjalan untuk mencari cahaya yang tak pernah benar-benar bisa kugapai. Dan mungkin, itulah inti dari segala perjalanan bahwa tujuan bukanlah tempat, melainkan kesediaan untuk terus melangkah baik di jalan yang terbentang di hadapan mata maupun di jalan sunyi yang berliku di dalam dada.

Meski tubuhku mungkin akan berhenti suatu hari nanti, jiwaku akan tetap berjalan untuk mencari cahaya yang tak pernah benar-benar bisa ku gapai.

Kelana itu kini duduk di beranda rumahnya, menatap cakrawala yang pernah ditaklukkan dan memandang jalan yang dulu membawanya pergi. Ia tahu, setiap perpisahan hanya menyiapkan pertemuan, dan setiap kepulangan hanyalah jeda sebelum langkah berikutnya. Angin kembali berhembus, membawa bisik-bisik jauh dari tempat yang belum pernah ia kunjungi. Ia tersenyum. Barangkali esok, kaki ini akan kembali melangkah. Sebab menjadi kelana, pada akhirnya bukan sekadar pergi tetapi bersedia untuk selalu menemukan dunia di luar maupun di dalam diri.

Kelana sejati tak pernah benar-benar berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun