Pemerintah daerah hari ini dinina bobokan oleh milyaran rupiah uang dari APBN untuk desa. Akibat dari rasa ketergantungan itulah, prioritas penggunaan keuangan daerah hanya terpusat, itupun untuk desa tak seberapa, dan bahkan tidak semua desa yang mendapatkan dana pides (pagu indikatif desa) dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Kalau itu terjadi demikian, otonomi daerah hanya sebatas simbol (khusus Ende), mengapa?, karena otonomi daerah tidak sekedar memberikan otonomi khusus kepada daerah untuk mengatur, mengelola uang yang ditransfer dari pusat (ketergantungan), tapi daerah juga mampu untuk mengelola potensi yang ada di daerah demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Lalu apakah Ende sudah memanfaatkan potensi yang ada, saya rasa belum maksimal.
Ketika kita kembali ke seruan moral tadi, seharusnya kita sadar bahwa ada ketimpangan, ada ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Maukaro. Jangan heran, dalam komunikasi non verbal, walaupun lewat media dan tidak nampak, tapi dari unsur kalimatnya,itu merupakan bentuk merupakan kritik otokritik terhadap negara, dimana pemerintah sebagai perpanjangan tangan dari negara.
Saya yakin bahwa komentar tersebut tidak sekedar bualan dalam mengisi waktu senggan, melainkan itu adalah rasa dan harapan akan pemerataan dalam pembangunan. Sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar tercapai. Maukaro juga adalah bagian dari NKRI, kesulitan mereka adalah kesulitan kita bersama, duka mereka juga duka kita bersama karena kita telah dihimpun dalam satu komunitas yang namanya Negara Indonesia. Wajibnya sebagai sesama anak bangsa harus sama rata dan sama rasa.
Penulis: Mateus Hubertus Bheri