Banyak yang beranggapan jika literasi hanya berhubungan dengan baca tulis. Pemaknaan literasi seperti ini membangun persepsi negatif dalam dunia pendidikan.
Definisi literasi mesti dipahami lebih luas pada kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Bahasa sebagai media komunikasi atau bersosialisasi adalah lapisan awal literasi.
Literasi yang baik memungkinkan seseorang untuk mengembangkan diri. Dalam konteks yang lebih jauh, literasi ibarat sebuah jembatan penghubung untuk menuju tempat-tempat baru.Â
Berapa persentase (%) siswa-siswi Indonesia yang mampu membaca dan menulis?
Baru-baru ini media nasional memberitakan ratusan siswa Bali tidak bisa membaca. Disisi lain, mereka mampu menggunakan media sosial dengan lancar. Sebuah ironi di tengah gempuran teknologi.
Membaca dan menulis adalah lapisan literasi paling bawah. Kedua skil ini menjadi modal dasar untuk menuju lapisan selanjutnya. Kemampuan literasi disokong oleh kefasihan berbahasa ibu (mother tongue).
Seorang anak memperoleh kemampuan berbahasa dari kedua orangtua. Ayah dan ibu berperan sebagai pembentuk fondasi utama literasi anak. Hal ini sering kali disepelekan dan diabaikan dalam ranah keluarga.Â
Keluarga sebagai Gerbang Literasi
Gerbang literasi paling awal dimulai dari dalam rumah. Kemampuan berbahasa lahir dari pembiasaan dalam keluarga. Oleh karenanya, fungsi keluarga sebagai gerbang literasi tidak boleh digantikan sekolah.Â
Apa yang terjadi pada ratusan siswa bali adalah cerminan mayoritas keluarga Indonesia saat ini. Kita sedang menghadapi krisis gaya asuh pada lapisan literasi paling dasar.Â
Fungsi keluarga sebagai gerbang literasi mulai rapuh. Orangtua tidak lagi peduli dengan perkembangan kognitif anak. Bahkan, orangtua sengaja dengan penuh kesadaran membiarkan anak di depan layar smartphone selama berjam-jam.Â
Beberapa teman mengeluh jika anak mereka belum mampu berbicara dengan lancar. Ketika ditanya seberapa aktif mereka mengajak anak berbicara, jawabannya sungguh memilukan.Â