Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Pemerhati literasi | peneliti bahasa | penulis buku bahasa Inggris

Menulis untuk berbagi ilmu | Pengajar TOEFL dan IELTS | Penulis materi belajar bahasa Inggris| Menguasai kurikulum Cambridge Interchange dan Cambridge Think | Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Gaya Asuh Smartphone dan Efek Samping pada Working Memory

1 Februari 2025   21:41 Diperbarui: 4 Februari 2025   11:05 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya asuh smartphone | ilustrasi gambar: Freepik.com

Cal Newport menulis sebuah buku berjudul Deep Work. Buku ini membahas detil tentang fokus dalam bekerja. Secara spesifik, Cal Newport menjabarkan alasan mengapa dunia kerja membutuhkan fokus.

Cambridge Dictionary memaknai Deep sebagai "going or being a long way down from the top or surface", artinya berada pada posisi tertentu dalam kedalaman. Sementara work bermakna pekerjaan yang melibatkan fisik dan mental.

Oleh karenanya, deep work boleh diartikan bekerja dengan konsentrasi tinggi. Kenapa deep work menjadi barang langka saat ini?

Tanpa kita sadari, pengaruh teknologi telah merubah pola kerja selama beberapa dekade. Tingkat fokus menurun drastis, berakibat pada memburuknya produktivitas. 

Artikel ini tidak membahas tentang dunia kerja, tapi lebih spesifik pada sisi gaya asuh orang tua. Saya ingin memberi sudut pandang deep work dalam konteks parenting. Lebih tepatnya, saya sedang menulis tema deep parenting.

Orang Tua dan Smartphone

Hampir jarang kita temukan orang tua yang tidak menggunakan smartphone dewasa ini. Rata-rata orang tua membesarkan anak dengan keterlibatan smartphone.

"Notifications: Notifications can trigger sounds and vibrations that distract people, even when they don't respond"

Smartphone memberi kemudahan dalam segala hal. Mengandalkan smartphone dalam mendidik anak boleh jadi bermanfaat. Meskipun demikian, sisi negatif smartphone jarang diperhatikan orang tua. Salah satunya adalah NOTIFIKASI. 

Seberapa banyak orang tua yang teralihkan perhatiannya dari mengasuh anak karena pesan masuk atau notifikasi dari media sosial. Menurut pakar ilmu otak, kehadiran smartphone berakibat pada penurunan fungsi kognitif. 

Dalam sebuah jurnal dengan judul "The mere presence of a smartphone reduces basal attentional performance", Jeanette Skowronek, Andreas Seifert dan Sven Lindberg memberi gambaran penting mengenai pengaruh notifikasi dari smartphone. 

"Studies show the significant distraction of smartphone notifications, even when participants do not respond to the messages"

Menariknya, Cal Newport juga menyinggung distraksi dalam kaitannya dengan fokus. Notifikasi yang berasal dari smartphone, walaupun diabaikan, tetap merubah koneksi informasi dalam otak manusia. 

Lantas, apa kaitan antara orang tua dan smartphone?

Mengasuh anak menuntut konsentrasi tinggi. Orang tua yang tidak hadir sepenuhnya dalam mengasuh anak ibarat menyetir sambil memegang ponsel. 

Anak-anak kini mengalami masalah konsentrasi. Tidak dapat dipungkiri, hal ini berawal dari kurangnya keterlibatan orang tua dalam mengasuh anak. Terutama disebabkan oleh smartphone.

Tentu tulisan ini tidak serta merta menyalahkan orang tua, tapi lebih kepada merespon fenomena gaya asuh bermodal smartphone. Perhatian orang tua pada anak berkurang karena notifikasi berlebih yang menciptakan distraksi berkesinambungan. 

Distraksi dari smartphone juga berdampak pada meningkatnya stres pada anak dan berubahnya pola tidur. Apakah orang tua menyadari konsekuensi gaya asuh smartphone ?

Prefrontal Cortex dan Working Memory

Tepat di belakang dahi manusia, terletak satu bagian otak yang dikenal dengan prefrontal cortex. Bagian otak ini berperan penting untuk menyimpan informasi sementara sebelum akhirnya dialihkan ke area hippocampus dalam bentuk memori utuh. 

Prefrontal cortex|gambar : https://medium.com
Prefrontal cortex|gambar : https://medium.com

Nah, penelitian di bidang neurology memberi fakta menarik. Penggunaan smartphone ternyata melemahkan fungsi kognitif berkaitan dengan working memory. 

Apa itu working memory?

Working memory dapat dipahami sebagai proses transfer informasi yang dianggap penting; seperti membuat keputusan, bernalar, dan berperilaku. 

Ketiga hal ini berhubungan erat dengan fungsi kognitif. Penggunaan smartphone sering dianalogikan seperti konsumsi alkohol dan heroin, walaupun memang efeknya tidak terlihat langsung dalam waktu tertentu. 

"The literature on the addictive nature of smartphone technology makes several key claims. First, it claims to identify a neurochemical similarity between the brain mechanisms involved in so-called smartphone addictions and those involved in other types of addiction such as gambling or sex."

Sifat kecanduan (addiction) pada smartphone menghasilkan mekanisme kerja yang hampir serupa pada otak jika dibandingkan dengan kecanduan akan taruhan atau bahkan sex.

Otak manusia bekerja dengan merespon stimuli dari luar. Penggunaan smartphone dengan mengecek notifikasi berulang memancing otak mengeluarkan hormon dopamin. 

Dopamin bertindak sebagai senyawa kimia pengantar rangsangan ke seluruh tubuh. Semakin sering seseorang mengecek notifikasi ponsel, maka otak secara otomatis mengeluarkan hormon dopamin berupa rasa senang layaknya sifat candu. 

Oleh karenanya, distraksi yang dihasilkan smartphone cepat atau lambat megikis kinerja otak. Dalam hal ini, anak-anak yang terlalu sering memegang smartphone terasa sulit saat bernalar, sehingga berefek pada kesulitan fokus belajar.

Ada satu hal penting yang harus diketahui orang tua. Area Prefrontal cortex juga berdampak pada kemampuan manajemen waktu seseorang. Uniknya lagi, bagian otak ini akan terus berkembang sampai umur 25 tahun.

Oleh karenanya, anak-anak belum mampu membuat keputusan dibanding orang dewasa. Fungsi kognitif otak berkembang dengan baik didukung oleh input dari luar. 

Jika anak dibiarkan menggunakan smartphone, fungsi prefrontal cortex terganggu. Anak sulit membuat keputusan ketika dihadapkan pada hal-hal penting. Terkhusus pada konsentrasi belajar di sekolah yang menuntut kemampuan bernalar.

Peran orang tua dalam membimbing anak jelas tidak bisa diabaikan. Gaya asuh bermodal smartphone bak pedang bermata tajam. Di satu sisi mempermudah banyak hal, pada sisi lain merusak fungsi kognitif anak.

Remaja usia sekolah bahkan mudah tenggelam dalam smartphone. Mereka bisa duduk berjam-jam untuk mengakses game atau media sosial. Dampak negatif terlihat jelas pada buruknya manajemen waktu.

Akhirnya, anak-anak usia sekolah malah semakin sulit diajak untuk fokus berpikir. Kemampuan kognitif teralihkan oleh fitur-fitur smartphone berbalut notifikasi. 

Dalam bahasa Inggris, distraction bermakna a thing that prevents someone from giving full attention to something else. Simpelnya, sesuatu yang mengalihkan fokus pada satu pekerjaan disebut distraksi. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak merekam distraksi sebagai kata. Sebaliknya, saya mendapatkan kata lain yaitu, distorsi. Mungkin saja distraksi baru muncul saat pengaruh smartphone dirasakan banyak orang. 

Penelitian tentang gaya asuh dan distraksi smartphone|sumber: Google Scholar
Penelitian tentang gaya asuh dan distraksi smartphone|sumber: Google Scholar

Banyak penelitian terkait smartphone dan distraction. Sebuah kajian terkini mengatakan tema "Distracted parenting: How do parents' emotional regulation and problematic smartphone use contribute to the interruptions of parent-child interactions?".

Artikel ini membahas buruknya interaksi orang tua dan anak akibat smartphone. Singkatnya, orang tua yang aktif menggunakan smartphone memiliki sekat pemisah yang menciptakan dampak negatif pada gaya asuh. 

Regulasi emosi akibat penggunaan smartphone oleh orang tua menyebabkan menurunnya fokus ketika membersamai anak. Secara tidak langsung, orang tua membesarkan anak sambil menciptakan jarak pemisah. 

Lucunya lagi, orang tua secara fisik hadir membersamai anak, tapi perhatian mereka teralihkan oleh smartphone. Anak tumbuh dengan gaya asuh tanpa koneksi utuh dari kedekatan palsu. 

Haruskah orang tua mengorbakan masa depan anak demi kesenangan (candu) sesaat dari smartphone? atau fokus membersamai anak tanpa melibatkan smartphone?

There is always a choice! Be smart.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun