Pada umur dua tahun, seorang anak akan mulai mampu mengenal emosi dan mengaitkan dengan keinginan/hasrat seseorang. Contohnya, jika diberikan beberapa pilihan makanan/buah/minuman yang berbeda, anak yang berumur dua tahun sudah mampu mengaitkan emosinya dengan jenis makanan yang ia sukai.
Implikasinya adalah, pada umur 1 sampai 2 tahun seorang anak harus memiliki input untuk mengenal emosi dengan baik. Pada dua tahun ini seorang anak mulai mengenal dirinya dan mengaitkan dengan sekitar.
Selama 24 bulan setelah lahir, orangtua sangat perlu membersamai anak dengan interaksi dan komunikasi yang intens. Tentunya jika ingin EQÂ anak berkembang baik secara alamiah.
Apa yang terjadi jika orangtua sibuk bekerja?
Momen bersama anak di dua tahun pertama tidak bisa diulang di dua tahun selanjutnya. Maknanya, kemampuan seorang anak mengenal, mengatur dan meregulasi emosi tidak bisa diajarkan di sekolah. Semua ini didapat hanya dengan dua hal : Interaksi dan Komunikasi.
Jika orangtua tidak memberikannya di 24 bulan sejak anak lahir maka konsekuensinya anak akan sulit mengenal dan mengatur emosinya sendiri. Ini sebabnya banyak sekali anak yang cepat marah, mudah sedih, temperamen, tantrum, dan pucuknya memiliki percaya diri yang rendah.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah IQ yang lebih diutamakan atau EQ? tentunya setiap orangtua punya goal tersendiri. Semua memiliki konsekuesinya tersendiri.
Ada satu kalimat yang menarik saya jumpai dalam sebuah artikel, 'scientific fact that emotions precede thought'. When emotions run high, they change the way our brains function...diminishing our cognitive abilities, decision-making powers, and even interpersonal skills. Understanding and managing our emotions (and the emotions of others) helps us to be more successful in both our personal and professional lives.
Ringkasnya, emosi mendahului pikiran. Saat seseorang memiliki emosi tinggi,fungsi otak berubah dan mengakibatkan kemampuan kognitif berkurang, termasuk kemampuan mengambil keputusan, mengatur emosi yang mengarah pada kesuksesan.
Saya rasa hal ini ada benarnya, saat seseorang sedang sedih atau marah, pikiran pasti kacau. Sudah barang tentu kalau seseorang sedang sedih akan mengambil keputusan atau pilihan yang mungkin salah.
Disini bisa kita pahami, seorang anak yang memiliki IQÂ tinggi namun kurang pada EQÂ akan sulit sukses karena emosinya akan menghambat pikirannya.