Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Istilah Klenik

4 Agustus 2023   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2023   06:24 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Noto Diharjo (sumber: dokumentasi pribadi)

Kendati demikian, angka dalam noktah/neptu/weton tidak selalu sama dengan penjelasan R.Tanaya itu. Sebab-sebab penempatan angka itu hingga saat ini masih menjadi misteri. Namun dalam prakteknya, masyarakat Jawa tidak begitu mempersoalkan hal tersebut.

Weton dikenal sebagai satuan waktu yang memiliki sifat tertentu. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, sifat seorang manusia dapat diketahui melalui weton tersebut. Oleh karenanya, weton ini seringkali digunakan pada waktu perjodohan, upacara pernikahan, membangun rumah, atau memulai pekerjaan yang baru.

Jika dipahami dengan pemikiran yang dangkal, hampir pasti semuanya tidak akan masuk akal. Ketika saya menanyakan hal itu, Mbah Noto pun tertawa terkekeh-kekeh, lalu menjelaskan maksud dari kepercayaan itu, "Takdir punika ingkang nentokaken Gusti Allah ingkang maha kuwaos. Manungso niku namun sak dermo nampi punopo ingkang dipun kersaaken kalian Pengeran. Tiyang Jawi gadah pamanggih kados punika namung kangge pangatos-atos kemawon. Nek sampun ngatos-atos, punapa kemawon ingkang dipun tentoaken kalian pengeran gih dipun tampi" (Takdir itu yang menentukan Gusti Allah yang maha kuasa. Manusia hanya sebatas menjalankan apa yang diinginkan oleh Pengeran (Allah). Jika sudah berhati-hati, apa saja yang ditentukan maka akan diterima).

Apa yang dijelaskan oleh Mbah Noto, sebenarnya juga telah tertulis di primbon-primbon yang menjadi sumber rujukan pengetahuan tersebut. Peringatan bahwa semuanya adalah ketentuan Tuhan selalu menjadi catatan pengarang Jawa. Kendati demikian, saat ini banyak orang yang tidak menelusuri dengan seksama dan kemudian turut mempersekusi budaya Jawa.

Ramalan, yang seringkali menjadi bagian klenik perdukunan barangkali bukan suatu hal yang mistis dan bertalian dengan makhluk tak kasat mata jika diamati lebih dalam. Sebagai contoh adalah ramalan kelahiran anak pada musim tertentu, mangsa kapat (musim keempat) misalnya yang bersifat resikan (suka kebersihan).

Alasan dari pendapat itu karena pada waktu musim keempat (18 September - 12 Oktober), petani Jawa telah kehabisan harta bendanya. Sebab, musim panen telah berlalu dan sisa panen telah digunakan untuk modal tanaman musim berikutnya. Oleh karena itu maksud dari resikan adalah habis seluruh harta bendanya.

Menurut pengamatan saya, apa yang kini dianggap sebagai ramalan tersebut merupakan kesimpulan dari hal tertentu yang diamati oleh masyarakat Jawa pada zaman dahulu. Pendapat saya ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu mengamati lingkungan sekaligus dampak yang ditimbulkan. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah ngelmu titen (pengetahuan dengan menandai).

Ngelmu titen dapat dikatakan sebagai langkah observasi yang kemudian menghasilkan suatu kesimpulan tertentu. Kesimpulan tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman ketika kejadian yang sama muncul kembali. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menganggap bahwa kehidupan merupakan pola yang berulang.

Keabsahan dari kesimpulan tersebut tentunya dapat diperdebatkan, karena masyarakat Jawa zaman dahulu masih menggunakan perlengkapan tradisional, bahkan hanya dengan pengamatan indera. Data yang terkumpul pun tidak dicatat melainkan disimpan dalam ingatan. Demikian pula dengan penyebarannya yang hanya menggunakan tradisi lisan.

Meski saya bukan ilmuwan, pemahaman semacam ini saya rasa serupa dengan pengetahuan modern yang berkembang saat ini yang meneliti hal tertentu dan kemudian menyimpulkannya untuk menghasilkan suatu penemuan. Dengan disiplin ilmu dan perlengkapan yang lebih maju, kesimpulan yang dihasilkan pun tentunya akan lebih baik dari masyarakat Jawa zaman dahulu.

Sebagai orang yang lahir, besar, dan hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa, pada mulanya saya juga menganggap bahwa pengetahuan masyarakat Jawa zaman dahulu itu tidak masuk akal dan tidak bersesuaian dengan pengetahuan modern. Namun, penjelasan Mbah Noto yang merasionalkan klenik tersebut menjadi salah satu yang merubah pendapat saya. Masyarakat Jawa zaman dahulu merupakan kelompok masyarakat yang rasional dan berfikir berdasarkan pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun