Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Istilah Klenik

4 Agustus 2023   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2023   06:24 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Noto Diharjo (sumber: dokumentasi pribadi)

Istilah klenik seringkali dikaitkan dengan dunia mistis maupun perdukunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), klenik juga dimaknai serupa yakni kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang. Kendati demikian, makna tersebut salah kaprah (salah yang sudah umum) yang tidak bersesuaian dengan cara pandang masyarakat Jawa.

Untuk memahami istilah klenik, saya mengunjungi Mbah Noto Diharjo (70) di dusun Miriombo Wetan, Desa Giripurno, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Ia yang akrab disapa Mbah Noto merupakan sesepuh desa sekaligus menjadi tempat warga masyarakat desa untuk menanyakan berbagai hal mengenai adat Jawa.

Menurutnya masyarakat Jawa itu memang acap kali disebut klenik, "Tiyang Jawi punika sejatosipun asring dipun sebat klenik" (Orang Jawa itu sejatinya memang sering disebut klenik).

Kendati demikian Mbah Noto menjelaskan bahwa yang dimaksud klenik bukan seperti yang dipahami oleh orang kebanyakan, "Ingkang dipun sebat klenik punika mboten kados ingkang dipunwastani kalian tiyang-tiyang. Klenik punika maksut ipun pating klenik, werni-werni ingkang dipun penggalih kalian tiyang Jawi jaman kina" (Yang disebut klenik itu bukan seperti anggapan banyak orang. Klenik (istilah) tersebut maksudnya pating klenik, bermacam-macam yang dipikirkan oleh orang Jawa zaman dahulu).

Dalam bahasa keseharian, pating klenik dimaknai sebagai suatu hal yang kecil tapi banyak dan bertebaran. Oleh karena itu, klenik yang dimaksud oleh Mbah Noto adalah kehidupan masyarakat Jawa yang memperhatikan hal-hal kecil sebagai sesuatu yang penting.


Mbah Noto kemudian mencontohkan tindakan-tindakan tersebut, "Contonipun, tiyang Jawi jaman kino punika mbok menawi bade nglamaraken tiyang setri, kadang mlebet griyo kemawon kedah nganggo sikil tengen riyen. Lajeng dinten antuke sowan, dandanan, daharan, ugi sak werni-werninipun kedah nderek adat Jawi" (Contohnya, orang Jawa jaman dahulu ketika akan melamar perempuan, terkadang masuk ke rumah pun harus menggunakan kaki kanan dahulu. Kemudian hari kedatangan, makeup, makanan, dan lain sebagainya harus mengikuti adat Jawa).

Sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Noto, adat Jawa memang sedemikian rumitnya. Soal waktu misalnya, masyarakat Jawa menggunakan perhitungan waktu dari jam, hari, bulan, mangsa (musim), tahun dan windu untuk menentukan hari baik. Belum lagi perihal makanan adat yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu mulai dari beragam jenis tumpeng, ambeng, larakan, ingkung, dan jenis-jenis lainnya yang terkait erat dengan simbol-simbol tertentu.

Ihwal klenik yang dianggap berkonotasi dengan perdukunan barangkali memang wajar, berkaitan dengan banyaknya praktik-praktik perdukunan yang memanfaatkan pengetahuan masyarakat Jawa. Sebagai contoh adalah mengenai neptu atau yang akrab disebut weton.

R.Tanaya dalam Kabudayan Paugeraning Tahun Jawa menjelaskan bahwa neptu berasal dari bahasa Arab "noktah" yang artinya titik atau tanda. Dalam hal ini, noktah artinya tanda yang berupa bilangan yang diletakkan menurut urutan abjad atau abujid.

Masih dari sumber yang sama, abjad atau abujid merupakan urutan huruf Arab (alif, ba, jim, dal = a, b, j, d). Konon pada zaman dahulu istilah abjad atau abujid digunakan untuk menyebut huruf Arab itu. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa kelahiran noktah/neptu/weton setelah masuknya Islam di Pulau Jawa.

Kendati demikian, angka dalam noktah/neptu/weton tidak selalu sama dengan penjelasan R.Tanaya itu. Sebab-sebab penempatan angka itu hingga saat ini masih menjadi misteri. Namun dalam prakteknya, masyarakat Jawa tidak begitu mempersoalkan hal tersebut.

Weton dikenal sebagai satuan waktu yang memiliki sifat tertentu. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, sifat seorang manusia dapat diketahui melalui weton tersebut. Oleh karenanya, weton ini seringkali digunakan pada waktu perjodohan, upacara pernikahan, membangun rumah, atau memulai pekerjaan yang baru.

Jika dipahami dengan pemikiran yang dangkal, hampir pasti semuanya tidak akan masuk akal. Ketika saya menanyakan hal itu, Mbah Noto pun tertawa terkekeh-kekeh, lalu menjelaskan maksud dari kepercayaan itu, "Takdir punika ingkang nentokaken Gusti Allah ingkang maha kuwaos. Manungso niku namun sak dermo nampi punopo ingkang dipun kersaaken kalian Pengeran. Tiyang Jawi gadah pamanggih kados punika namung kangge pangatos-atos kemawon. Nek sampun ngatos-atos, punapa kemawon ingkang dipun tentoaken kalian pengeran gih dipun tampi" (Takdir itu yang menentukan Gusti Allah yang maha kuasa. Manusia hanya sebatas menjalankan apa yang diinginkan oleh Pengeran (Allah). Jika sudah berhati-hati, apa saja yang ditentukan maka akan diterima).

Apa yang dijelaskan oleh Mbah Noto, sebenarnya juga telah tertulis di primbon-primbon yang menjadi sumber rujukan pengetahuan tersebut. Peringatan bahwa semuanya adalah ketentuan Tuhan selalu menjadi catatan pengarang Jawa. Kendati demikian, saat ini banyak orang yang tidak menelusuri dengan seksama dan kemudian turut mempersekusi budaya Jawa.

Ramalan, yang seringkali menjadi bagian klenik perdukunan barangkali bukan suatu hal yang mistis dan bertalian dengan makhluk tak kasat mata jika diamati lebih dalam. Sebagai contoh adalah ramalan kelahiran anak pada musim tertentu, mangsa kapat (musim keempat) misalnya yang bersifat resikan (suka kebersihan).

Alasan dari pendapat itu karena pada waktu musim keempat (18 September - 12 Oktober), petani Jawa telah kehabisan harta bendanya. Sebab, musim panen telah berlalu dan sisa panen telah digunakan untuk modal tanaman musim berikutnya. Oleh karena itu maksud dari resikan adalah habis seluruh harta bendanya.

Menurut pengamatan saya, apa yang kini dianggap sebagai ramalan tersebut merupakan kesimpulan dari hal tertentu yang diamati oleh masyarakat Jawa pada zaman dahulu. Pendapat saya ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu mengamati lingkungan sekaligus dampak yang ditimbulkan. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah ngelmu titen (pengetahuan dengan menandai).

Ngelmu titen dapat dikatakan sebagai langkah observasi yang kemudian menghasilkan suatu kesimpulan tertentu. Kesimpulan tersebut kemudian digunakan sebagai pedoman ketika kejadian yang sama muncul kembali. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menganggap bahwa kehidupan merupakan pola yang berulang.

Keabsahan dari kesimpulan tersebut tentunya dapat diperdebatkan, karena masyarakat Jawa zaman dahulu masih menggunakan perlengkapan tradisional, bahkan hanya dengan pengamatan indera. Data yang terkumpul pun tidak dicatat melainkan disimpan dalam ingatan. Demikian pula dengan penyebarannya yang hanya menggunakan tradisi lisan.

Meski saya bukan ilmuwan, pemahaman semacam ini saya rasa serupa dengan pengetahuan modern yang berkembang saat ini yang meneliti hal tertentu dan kemudian menyimpulkannya untuk menghasilkan suatu penemuan. Dengan disiplin ilmu dan perlengkapan yang lebih maju, kesimpulan yang dihasilkan pun tentunya akan lebih baik dari masyarakat Jawa zaman dahulu.

Sebagai orang yang lahir, besar, dan hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa, pada mulanya saya juga menganggap bahwa pengetahuan masyarakat Jawa zaman dahulu itu tidak masuk akal dan tidak bersesuaian dengan pengetahuan modern. Namun, penjelasan Mbah Noto yang merasionalkan klenik tersebut menjadi salah satu yang merubah pendapat saya. Masyarakat Jawa zaman dahulu merupakan kelompok masyarakat yang rasional dan berfikir berdasarkan pengetahuan.

Sebagai bukti rasionalnya masyarakat Jawa adalah karya-karya mereka yang kini masih berdiri seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan puluhan bangunan-bangunan peninggalan lainnya. Barangkali jika mereka menganggap klenik itu merupakan tindakan perdukunan, bangunan-bangunan yang syarat akan ilmu ukur, arsitektur, dan seni tersebut tidak akan menjadi peninggalan mereka.

Saat ini, yang menjadi misteri terbesar bagi saya adalah, mengapa istilah klenik menjadi begitu identik dengan dunia perdukunan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun