Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Cinta Menggoda di Waktu Senja v.1

8 Desember 2016   20:06 Diperbarui: 8 Desember 2016   20:20 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar dari interkini.com)

Pandangan Reni tertuju pada Ika, cucu pertamanya yang baru kelas 1 SD. Dilihatnya Ika sedang membaca satu bendel buku, lebih tepatnya komik, yang sudah lama tidak pernah dilihatnya. Komik itu cukup terkenal di masa remajanya dulu, Album Cerita Ternama (ACT). Belum sampai separo bendel komik itu dibaca, ketika Ika meletakkannya di lantai depan TV.

Sambil memungut bendel komik itu, Reni bertanya,

“Dari mana kamu dapat buku ini, nDuk?”

“Dikasih pinjam pak guru.”

“Di sekolah?”

“Bukan. Di rumah pak guru. Pak guru punya banyak sekali buku di rumahnya. Kami boleh pinjam sebanyak kami suka. Gak bayar lagi, Nek.”

“Baik sekali pak gurumu.”

Didorong oleh rasa penasaran dan nostalgia dengan komik jaman remajanya dulu, Reni pun mulai membalik satu per satu halaman bendel ACT itu. Pandangannya tertegun begitu membuka halaman pertama dibalik sampul bendel komik tersebut. Dibacanya sebuah stempel yang dicap di tengah-tengah halaman buku sebagai identitas pemilik bendel komik itu. Di bawah stempel itu terdapat sebuah tanggal dan tanda tangan. Reni pun langsung menduga tanggal tersebut adalah tanggal pembelian komik tersebut. Dan tanda tangan itu …. tanda tangan yang sangat dikenalnya waktu masih SMA dulu. Dada Reni pun langsung bergetar.

“Ika, siapa nama pak gurumu?”

“Pak Arip, Nek.”

Nama Arif memang nama pasaran, jadi banyak yang pakai. Tapi, yang tanda tangannya seperti yang dilihatnya, tentu tidak banyak.

Dibukanya lagi halaman-halaman berikutnya. Di setiap halaman setelah sampul komik itu selalu terdapat stempel dan tanda tangan yang sama. Hanya tanggalnya saja yang berbeda. Di salah satu komik terdapat tulisan tanggal pembelian yang entah sebuah kebetulan atau kesengajaan, tertulis tanggal yang sama persis dengan tanggal ulang tahunnya. Reni pun semakin yakin bahwa pemilik bendel komik ini adalah temannya yang selalu satu kelas dengannya dari kelas 1 SMA dulu. Temannya yang memang dikenal sebagai ‘penggila buku’.

Reni pun memutuskan untuk ikut ketika Ika bermaksud mengembalikan buku tersebut.

“Assalamu’alaikum, Rip.”

“Walaikum salam. Maaf, siapa ya?”

“Ahh … terlalu kamu, Rip! Masak lupa sama teman sekelas?”

“Astagaaa, … Reni, ya? Aduh, maaf. Maklum dah tua. Tahu rumahku dari mana?”

Reni pun mengacungkan bendel ACT yang dipinjam Ika, cucunya.

“Dari ini.”

“Lho, itu kan bendel yang dipinjam si Ika?”

“Ya, Ika itu cucu pertamaku.”

Ooalahh …. ternyata …! Masuk, Ren!”

Sementara Ika sibuk mencari buku baru untuk dipinjamnya, Reni pun masuk menelusuri ruang demi ruang rumah Arif yang disulap menjadi sebuah taman bacaan bagi siapa yang memang gemar membaca. Dilihatnya buku dan majalah terpajang dan bergeletakan di seluruh penjuru ruangan. Dilihatnya buku dan majalah tua masih terawat dengan baik, seperti : Intisari, Kartini, Femina, Gadis, Hai, Bobo, Ananda, Eppo, Zaman, Tempo, dll. Buku-buku serial petualangan Lima Sekawan karya Enyd Blyton, serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchock dan komik-komik Jepang juga ada. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Tur pun ada. Bahkan buku langka karya Presiden Soekarno, ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ pun juga ada.

“Luar biasa. Ini semua punyamu, Rip?”

“Gak semuanya. Ada sebagian hasil dari pemberian orang-orang yang daripada dijual ke tukang loak, disumbangkan ke sini. Lebih bermanfaat.”

Setelah puas berkeliling, mereka pun duduk di teras samping, salah satu tempat yang bebas dari buku. Taman di samping rumah membuat suasana jadi terasa nyaman.

“Apa kesibukanmu sekarang, Ren?”

“Gak ada. Tinggal ngemong cucu. Kamu sendiri, masih ngajar?”

“Masih, sambil ngurus taman bacaan ini.”

“Masih kuat?”

“Ya, masihlah. Kebahagiaanku ada di situ.”

“Baguslah kalo gitu. Dari dulu emang kamu gak bisa jauh dari buku dan ilmu, yah.”

“Eheh … he … he …. yah, begitulah.”

“Cocoklah buat kamu. Kamu ‘kan orangnya sabar, telaten, suka kerapian, kalem lagi.”

“Aah … nggak juga.”

“Apalagi tulisan tanganmu, …. masih bagus seperti dulu ‘kan? Pastilah, namanya juga pak guru.”

“Tulisan tanganmu juga bagus kok, Ren. Makanya kamu dijadikan penulis kelas.”

“Iya, tapi penulis kedua. Penulis pertamanya ‘kan kamu.”

“He … he … mestinya perempuan yang jadi penulis pertama.”

“Kenapa anak-anak jaman sekarang tulisannya gak kayak kita dulu, ya?”

“Karena mereka lebih sering ngetik di keyboard daripada nulis di kertas.”

“Rip, kemarin aku lihat di salah satu buku ACT yang dipinjam si Ika ada tanggal yang sama persis dengan tanggal ulang tahunku. Sengaja atau kebetulan?”

“Oh, itu. Ya, sengaja, dong! Malah tadinya mau aku kasihkan kamu, untuk kado. Tapi, aku batalkan karena aku pikir kamu kurang menyukainya.”

“Ooh ….. gitu, yah.”

Obrolan mereka terputus oleh suara Ika yang sudah menemukan buku yang dipinjamnya. Reni pun berpamitan pulang.

“Sering-sering main ke sini, Ren!”

“Yaa … tergantung dia,” kata Reni sambil menunjuk Ika.

“Sering-sering ajak nenekmu ke sini ya, Ka!”

Ika pun mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun