Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengulik Makna Secangkir Kopi

4 Februari 2020   00:36 Diperbarui: 4 Februari 2020   00:39 3945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam hari dengan secangkir kopi/dokpri

Pagi itu sepulang dari Mushola  ada harum semerbak menggelitik hidung. Aroma kopi yang diseduh air panas menari-nari. Terdengar sendok beradu dengan gelas berputar mencampur kopi, gula pasir dan air. Menimbulkan suara merdu yang selalu saya kangeni bila sedang keluar kota.

Secangkir kopi panas buatan tangan istri memang selalu tersedia saat saya pulang dari berjamaah subuh.  Itu sudah ia lakukan sejak kami menikah. Dan selalu ada dengan aroma dan rasa yang sama, kopi pahit, tapi tidak terlalu encer atau terlalu pekat. Dan yang paling cocok menurut lidah saya memang kopi buatan istri.

Minuman sederhana bernama kopi ini memang memiliki makna yang dahsyat bagi saya pribadi. Saya tak pernah cocok minum kopi di manapun selain kopi buatan istri. 

Bahkan setelah kopi instan berkembang menjadi produk varian rasa, saya tetap paling kangen kopi buatan istri. Kopi kental dan sedikit pahit. 

Kopi buatan istri memang selalu menjadi energi awal untuk memulai aktifitas pagi. Saya tak perlu menu tambahan untuk menikmati kopi. Bahkan tak perlu teman untuk menemani. Sebab saya menikmati kopi di dapur bersama istri yang sedang sibuk menyelesaikan cuci piring atau membuat sarapan untuk anak-anak yang mau berangkat ke sekolah.

Secangkir atau segelas kopi sering menjadi perekat hubungan kami dengan tetangga. Usai sholat isya' kami para lelaki biasanya berkumpul di salah satu rumah. Bisa di rumah saya, atau tetangga lain. Menunggu kantuk datang dan membahas berbagai macam persoalan sosial yang terjadi di lingkungan kami.

Segelas kopi juga terbukti melunakkan hati tetangga yang sepertinya kurang ramah dengan warga sekitar. Kami memiliki seorang tetangga keturunan Jerman dari marga Piontek. Fisiknya bule, tapi karena ayahnya sudah lama tinggal di Indonesia bahasa ibu di  keluarga ini tetap bahasa Indonesia campur bahasa jawa. 

Istrinya seorang wanita keturunan Tionghoa yang lahir di Semarang. Dan keluarga ini telah dikaruniai dua orang anak laki-laki yang warna kulitnya putih-putih menurun dari  ibunya.

Suatu hari kami sedang berkumpul, Pak Bernard, demikian kami memanggilnya sedang berada di luar rumah bersama seekor anjingnya. Kami memanggilnya, tapi beliau tidak menggubris. Akhirnya salah seorang dari kami menawarkan kopi, eh gayung bersambut. Beliau mau datang mengobrol dengan kami dan bercerita tentang ayahnya warga keturunan yang kini telah tiada.
Sejak itu pak Bernard sering bergabung, dan mengobrol santai dengan kami. 

Air kopi juga muncul dalam acara-acara kami di lingkungan. Kerja bakti, rapat RT, tirakatan malam tahun baru, atau sekedar ngobrol santai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun