Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 6

14 Juli 2016   14:42 Diperbarui: 14 Juli 2016   14:48 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PEMUNAH PASIR BESI

Kedai itu nampak lengang. Ada sepuluh meja dengan masing-masing meja terdiri dari empat kursi. Lima meja di dalam kedai, dan lima meja diluar. Aku sendiri mengambil posisi pada meja ketujuh di bagian luar. Suasana kedai itu sangat sejuk dengan pepohonan di kanan dan kiri. Pelayan kedai nampaknya sedang menyiapkan beberapa makanan untuk pengunjung yang sudah memesannya.

Tidak jauh dari meja tempatku duduk, ada seorang laki-laki paruh baya bersama dengan kawannya yang lebih muda. Aku perkirakan usianya sekitar empat puluh tahunan. Kawannya berperawakan agak gemuk dan berambut gondrong. Agak kurang kontras kulihat karena umumnya laki-laki berperawakan gemuk itu berambut cepak. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri melihatnya.

Sesaat setelah aku tersenyum, aku kemudian mengerenyitkan dahi. Terjadi perubahan ekspresi wajah pada laki-laki paruh baya dan kawannya itu. Kedua lelaki itu menatap tajam ke arahku. Nampaknya ada sesuatu yang terjadi. Kulihat kawannya membisikkan sesuatu pada laki-laki paruh baya disampingnya. Tidak berapa lama kemudian laki-laki paruh baya itu terlihat emosi dan kemudian ia menggebrak meja didepannya.

BRAKKK!!!

Meja kayu yang cukup tebal itu langsung terbelah beberapa bagian dan hancur.


Mendengar suara meja yang hancur, beberapa pengunjung kemudian bergegas meninggalkan kedai. Satu persatu semua meninggalkan kedai. Kini hanya ada aku dan dua orang laki-laki yang menatap tajam ke arahku. Laki-laki paruh baya itu kemudian menendang meja yang sudah hancur dan berjalan melintasi meja tersebut tepat menuju ke arahku. Sambil berjalan ia kemudian mengarahkan telunjuknya kepadaku.

"Hei kamu! Iya kamu! Apa maksudmu dengan tersenyum-senyum melihat kami berdua! Apa kamu bermaksud menertawakan kawanku yang gemuk ini hah!!!", teriaknya dengan lantang.

Kini ia sudah tepat berada hanya dua meter di depanku.

"Maaf paman, aku tidak bermaksud demikian. Saat melihat teman paman, aku teringat temanku yang juga mirip dengan teman paman itu...", jawabku apa adanya.

Aku melihat pemilik kedai kemudian bergegas mendekati kami dan kemudian berusaha melerai. Ia seorang yang sudah berumur. Aku perkirakan berusia sekitar lima puluh tahunan.

"Mohon maaf mas mas sekalian, jika ingin ribut silahkan diluar kedai saya. Saya tidak ingin meja-meja ini hancur karenanya. Biarlah meja yang satu itu saya relakan tidak usah di...", belum sempat pemilik kedai menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba ia terlempar dengan keras.

"Aaakh!!!", teriak pemilik kedai.

"Halah... berisik kamu!", teriak pemuda paruh baya itu sambil mendorong keras sekali dada pemilik kedai hingga terlempar keras dan menabrak salah satu meja lain didekatku hingga terbalik. Pemilik kedai itu terlontar cukup keras. Dari sudut bibirnya terlihat ada darah segar. Ia diam terbaring dengan napas tersengal-sengal.

Aku langsung berdiri siaga dan melompat menuju pemilik kedai yang terluka. Aku berjongkok memperhatikan tubuh pemilik kedai. Bagian dada pemilik kedai nampak sedikit melesak dengan kain bajunya yang seperti terkena semburan pasir. Gigiku bergemeletakan dengan perasaan marah.

"Pasir Wutah...!", gumamku perlahan.

Aku mendadak menjadi sangat marah karena tiba-tiba laki-laki paruh baya itu menghantam dada pemilik kedai dengan ilmu Pasir Wutah. Pemuda paruh baya itu jahat sekali. Aku geram dibuatnya.

Aku berdiri dengan geram. Kusiagakan diriku dengan Krei Wojo dan Kidang Telangkat. Aku segera membalikkan tubuh dan menatap tajam pada pemuda paruh baya didepanku.

"Semestinya paman tidak boleh kasar terhadap orang tua... apalagi melukainya", ucapku dengan nada perlahan namun dengan penuh kemarahan.

"Apa urusanmu! Kamu juga ingin merasakan sama seperti kakek tua itu? Baiklah! Terima ini... heaaaahh!", teriak pemuda paruh baya itu dengan sengit. Ia kemudian melepaskan kembali Pasir Wutah miliknya kepadaku. Namun kali ini aku sudah bersiap-siap. Aku langsung melompat cepat bagai kijang menghindari lontaran tenaga Pasir Wutah milik pemuda paruh baya tersebut sekaligus kutepis dan kutangkis bagian luar lengannya. Bahkan aku serang bagian kanan tubuhnya dengan pukulan lurus.

PLAK!!!

Pemuda itu terkejut bukan kepalang. Nampaknya ia tidak menyangka serangan Pasir Wutah miliknya berhasil dihindari dan bahkan ditangkis. Bahkan pukulanku bisa bersarang telak di bagian kanan tubuhnya. Nampaknya ia mulai serius setelah sebelumnya tampak meremehkanku.

Tidak menunggu lama, ia kemudian segera melakukan beberapa gerakan pembuka suatu ajian.

Aku terkejut dan merinding. Nampaknya ia akan mengerahkan Guntur Geni. Aku kenal betul dengan gerakan pembuka ajian ini. Salah satu jenis ajian yang berbahaya karena bahkan angin kesiuran pukulannya dapat melukai.

Tidak menunggu lama, aku melakukan gerakan pembuka yang sama. Aku memutuskan akan mengadu Guntur Geni milikku dengan Guntur Geni miliknya. Inilah pertama kali aku mencoba mengerahkan keilmuan pamungkas yang kupelajari dari ayah.

Kami berdua saling melompat dan membuka serangan. Kuterima Guntur Geni miliknya dengan Guntur Geni milikku. Kedua pukulan kami saling berbenturan.

DHUAR!

Laki-laki paruh baya itu terjajar mundur.

Nafasnya terengah-engah.

"Siapa yang mengajarimu Guntur Geni!!!", hardiknya.

Ia tampaknya tak percaya, pukulan pamungkasnya sudah dikalahkan dengan telak. Bahkan oleh seorang anak muda!

Laki-laki paruh baya itu sangat mengenali jenis energi yang dilontarkan oleh anak muda ini. Ia tahu persis, karena ia juga mempelajarinya. Tapi tak disangka Guntur Geni milik pemuda ini lebih hebat dibanding yang ia pernah pelajari. Mungkin dua atau tiga tingkat diatasnya.

Terlihat dari sudut bibirnya menetes darah segar. Ia segera mengusapnya dengan punggung telapak tangan kanannya.

"Paman tidak perlu tahu darimana aku belajar Guntur Geni. Aku hanya tidak suka paman berbuat semena-mena terhadap orang lain. Mempergunakan ilmu yang tidak pada tempatnya!", jawabku singkat.

"Heh bocah! Apa urusanmu? Ini urusanku. Aku mau melakukan apa saja juga terserahku!", jawab laki-laki paruh baya itu dengan kasar.

Tapi tampaknya ia mulai waspada dan memperhatikanku. Ia mulai tampak serius.

Tidak seperti tadi.

Justru ini yang aku takutkan.

Sebelumnya, aku berhasil menangkis Pasir Wutah yang dilontarkannya. Semata-mata karena laki-laki paruh baya di depanku ini menganggapku remeh sehingga berkuranglah daya pukulannya. Aku jadi punya celah untuk menghantam balik. Dan benar saja, ia terhantam. Meski tidak telak.

Tapi tampaknya tidak setelah ini. Entah, apakah aku punya kesempatan kedua atau tidak.

Laki-laki ini terlihat sangat waspada setelah tahu aku bisa melepaskan Guntur Geni.

Kewaspadaanku jadi semakin meningkat.

Perlahan, aku menghirup nafas halus. Diam-diam kukerahkan Krei Wojo. Aliran energi dibawah pusar kupecah kekanan dan kekiri. Kemudian kugabungkan kembali, hingga naik ke tengah dahi. Saat memecah tadi, sebagiannya keluar dari pinggang kanan dan pinggang kiri, lalu kubentuk medan segitiga hingga ke tengah dahi. Bertemu dengan aliran tenaga yang kuarahkan kesitu. Melebur, menjadi satu. Tubuhku kini terselimuti oleh medan segitiga energi Krei Wojo.

Benar saja. Tidak berapa lama, laki-laki paruh baya didepanku langsung melompat cepat ke arahku.

Tangannya mengepal. Pukulannya diarahkan tepat ke dadaku. Cepat Sekali.

Sebelum pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat dadaku terasa panas. Bahkan kesiuran angin pukulan panas sebelumnya sudah melukai sedikit punggung tanganku tepat diatas pangkal ibu jariku. Saat itu aku masih belum sempat melindungi dengan Krei Wojo. Tapi sekarang aku percaya dengan perlindungan medan energi Krei Wojo.

Sesaat sebelum mengenai tubuhku, arah pukulannya berbelok akibat efek medan energi Kere Wojo yang kukeluarkan. Kepalannya mengenai batang pohon besar disampingku. Ia tampak sangat terkejut.

BHEGGG!

Batang pohon itu terhantam keras.

Aku langsung menggeser langkahku dengan cepat. Kupakai gerak langkah mundur Simpir dan melangkah mundur hingga jarakku menjadi dua langkah terhadap laki-laki itu. Kewaspadaanku kutingkatkan. Khawatir tiba-tiba ia berbalik dan langsung menyerangku dengan serangan yang lebih berbahaya.

Aku melihat bagian tengah pohon itu agak melesak. Warnanya menjadi kehitaman.

"Pasir Besi ... ", gumamku tanpa sadar.

Laki-laki paruh baya itu segera berbalik arah, lalu menatapku tajam.

Kepalannya kini sudah dibuka. Tampaknya ia masih ingin menghantamku dengan Pasir Besi, tapi menggunakan telapak tangannya.

"Nasibmu akan seperti batang pohon ini!", hardik laki-laki itu.

"Paman, aku terpaksa akan menghentikanmu ... ", jawabku tenang.

Perlahan kujulurkan tangan kananku ke depan. Telapak tanganku mengarah kebagian batang pohon bekas dihantam oleh Pasir Besi laki-laki paruh baya itu. Kupancangkan niatku dengan kuat, lalu secepatnya kudeteksi getaran energi Pasir Besi yang masih menempel di batang pohon itu. Setelah kudapatkan frekwensinya, secepatnya kutarik dengan kedua tanganku lalu kusalurkan pada kedua ujung jari tanganku yakni telunjuk dan jari tengah. Aku langsung membungkuk dengan menekuk kaki kanan hingga lututku menyentuh tanah. Setelah itu segera kuhunjamkan kedua ujung jariku ke dalam tanah. Ujung jariku masuk satu ruas ke dalam bumi.

Laki-laki paruh baya tiba-tiba itu menjerit.

"Aaaakkh!!!", jeritnya menyayat.

Tubuhnya kemudian limbung dan terhempas keras menghantam Tanah.

Ia mencoba bergerak dan bangkit. Tapi tidak bias.

Sekeras apapun usahanya, tetap saja gagal.

Kutancapkan lebih dalam lagi hunjaman jari-jari tanganku hingga masuk sepenuhnya tiga ruas. Laki-laki itu kembali menjerit. Lalu terdiam.

Diam. Tidak bangun lagi.

Kedua jari-jari tanganku masih masuk kedalam tanah seluruhnya. Lalu kulepaskan semua serapan getaran energi Pasir Besi miliknya ke dalam bumi.

"Maafkan aku paman... Aku sebenarnya tidak ingin mengerahkan pemunah Pasir Besi. Tapi paman memaksaku...", ucapku lirih.

Aku sama sekali tidak bahagia, malah aku merasa sedih. Karena ilmu pemunah Pasir Besi ini dampaknya sangat berbahaya. Meski demikian, aku hanya mengerahkan tujuh bagian tenaga saja sehingga aku yakin laki-laki paruh baya itu tetap masih bernyawa. Lembaran pengobatan dan lembaran penyembuhan belum tuntas aku kuasai sebagai pemunah dari dampak buruk keilmuan pamungkas. Aku masih ingat ajaran ayahku, bahwa kalau bisa merusak maka harus bisa mengobati. Belajar menghancurkan juga disertai kemampuan belajar membangun.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun