“Braaaaaaaaaaaaaak!” Mobil xenia warna hitam terbang dan melibas pejalan kaki di trotoar. Delapan nyawa melayang jadi korban sia-sia. Jelas mobil itu yang salah sebab trotoar bukan untuk mobil, trotoar tempat untuk pejalan kaki.Tetapi apa iya mobil harus disalahkan, sebab mobil tidak bisa jalan sendiri. Orang-orang lantas mencari si sopir karena mobil dijalankan oleh sopirnya. Sopir pasti yang bersalah.
Perempuan yang menjadi sopir mobil itu keluar dan ganti mencari pihak lain yang harus disalahkan. ‘Remnya blong!’Sekalipun jelas-jelas tidak ada kambing di situ tapi yang namanya ‘kambing hitam’ segera hadir di sana. Kali ini rem mobil yang harus menjadi kambing hitam, dipersalahkan menjadi penyebab kecelakaan maut yang merenggut banyak korban.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, ternyata tidak ada tanda-tanda mobil itu di rem. Malahan katanya pedal gas yang diinjak. Berarti tidak ada kesalahan tehnis pada mobil itu, tetapi toh sopir tetap berusaha menyalahkannya.Bahkan kemudian orang yang suka beternak kambing hitam cepet-cepet bersuara lantang menghakimi mobil jenis ini tidak aman. Tentu saja sang empunya ATPM juga segera mengeluarkan bantahan.
Ya begitulah sifat manusia, senangnya melemparkan setiap kesalahan pada pihak lain. Ya begitu pulalah nasib si kambing hitam, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Setiap ada kesalahan, bencana atau apa pun yang tidak sesuai harapan kambing hitam selalu harus dipaksa memanggul kesalahan.
Kita sering gampang berkata, ‘setiap orang bisa salah, kecuali saya’. Artinya orang lain boleh salah, namun saya tidak pernah akan salah. Inilah yang menyebabkan kita segera menyalahkan pihak lain dan sulit untuk mengakui bahwa kita bersalah. Kita sering berusaha menghindar dari tanggung jawab atas segala sesuatu yang tidak kita harapkan. Kita sering berat untuk berkata “saya bersalah.”
Ketika kecil kita sering jatuh.Ibu kita mungkin segera berlari menolong kita sambil berkata, “Aduh sayang, batunya yang nakal nih ... biar ibu pukul!” Atau mungkin si ibu bilang, “Sudah diam sayang... nanti kodoknya ibu pukul!”
Jelas kita jatuh karena kaki kita tersandung batu, karena kita lari kurang hati-hati. Juga ketika kita jatuh tak ada seekor kodok di situ tetapi si ibu menyalahkan si batu dan si kodok. Yang malahan ada justru si ‘kambing hitam’ di situ, menyalahkan pihak lain. Sejak kecil kita sudah belajar mencari kambing hitam, mencari kesalahan pada pihak lain atas peristiwa yang tidak kita harapkan.
Di sekolah, nilai buruk melulu. Segera kita pun sigap mencari si kambing hitam. “Terang saja nilai saya jelek wong gurunya gak bisa mengajar, kalau menerangkan pelajaran gak jelas!” .Nah, lagi... yang namanya si kambing hitam selalu ikut. Lagi-lagi guru kita jadikan kambing hitam. Padahal sebenarnya nilai jeblok itu karena kemalasan kita.
Ketika target penjualan tidak tercapai kita lantas kita bilang, “Para kompetitor sudahpasang iklan di TV, kita masih menghitung-hitung biaya untuk pasang iklan mini di koran lokal. Mana bisa target penjualan tercapai? Yang bener saja tuh boss kalau ngomong!” Nah, kembali si kambing hitam ada di sana.
Bahkan ketika banjir menyapu beberapa daerah di negeri ini, kita pun segera mencari kambing hitam. “Ini sudah kehendak Tuhan, ini merupakan cobaan Tuhan.” Mana mungkin Tuhan mengirim bencana itu ? Bencana itu bukan banjir bandang jaman Nabi Nuh. Banjir itu datang karena ulah para pemalak hutan yang mengusung kayunya sampai ke luar negeri.
Ya, benar. Siapa pun bisa kita jadikan sebagai kambing hitam, bahkan Tuhan sendiri pun bisa.
Konon, penyebab kebiasaan mencari kambing hitam ini karena kurangnya kita menghargai diri sendiri (self-esteem) dan kurangnya kepercayaan diri (self-confidence). Kurang menghargai diri artinya kita tidak mengoptimalkan potensi yang kita miliki yang akan berakibat pada kurangnya kepercayaan diri untuk menghadapi setiap tantangan.Ibarat seperti seekor kura-kura yang cepat menyembunyikan kepalanya ketika menghadapi permasalahan. Padahal hanya dengan menegakkan kepalanya saja mungkin kura-kura bisa membuat seekor buaya lari terbirit-birit.
Menurut Wikipedia, dalam tradisi bangsa Israel dahulu Hakim Agung harus membuang undi atas dua ekor kambing jantan dalam upacara Yom Kippur(HariPerdamaian).Seekor kambing dijadikan sebagai korban bakaran, dan seekor lainnya dilepas ke padang gurun setelah sebelumnya Hakim Agung meletakkan tangannya di atas kepala kambing itu dan mengakui dosa-dosa bangsa Israel.Rupanya kambing kedua yang harus menanggung dosa orang lain ini merupakan awal mula adanya istilah ‘kambing hitam’. Dalam bahasa Inggris, kambing kedua yang harus memikul dosa-dosa di kepalanya itu istilahnya ‘scapegoat’. Jadi tidak ada kaitannya dengan warna hitam, tidak ada istilah ‘blackgoat’.
Untuk para kambing yang kebetulan berwarna hitam kini tidak perlu berkecil hati. Karena selain hanya istilah saja, setelah membaca tulisan ini tidak banyak lagi orang yang akan mencari kambing hitam alias mengkambinghitamkan permasalahan.
Semoga bermnfaat!
Gambar dari: pendarbintang.wordpress.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI