Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Politik: Fenomena Kegagalan Kaderisasi

2 September 2022   10:50 Diperbarui: 2 September 2022   11:03 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Politik dan Degradasi Kepercayaan

Laboso dan Ilham menyebut partai politik merupakan bagian dari infrastruktur politik dalam Negara---karena selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers)---yang pada definisi Sigmund Neumann bertujuan untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, values, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik lazimnya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Pemilihan langsung merupakan kerangka kelembagaan baru dalam rangka demokratisasi mewujud. Proses ini diharapkan bisa mereduksi secara luas adanya 'pembajakan kekuasaan' yang dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat RI. Selain itu juga pemilihan pemimpin secara langsung diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang memiliki akuntabilitas yang lebih tinggi kepada rakyat. Pemilihan langsung pemimpin dalam upaya menghadirkan calon-calon pemimpin. Sebagai salah satu institusi yang menjadi pintu masuk bagi calon pemimpin diharapkan partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Persoalannya, sejauh ini dalam praktiknya partai politik masih jauh dari harapan tersebut, seperti melakukan proses pengusungan kandidat yang elitis, rekrutmen calon yang buruk, partai politik dinilai hanya sebatas sebagai kendaraan atau pemberi tiket, sampai abainya partai politik pada suara kritis publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan dan korupsi.

Idealnya peralihan masa orde baru ke reformasi ini adalah momentum sejarah dalam kepemimpinan politik di Indonesia. Tapi di sisi lain secara realistik Indonesia juga mengalami krisis kepemimpinan.

Mencari sosok pemimpin yang integritas intelektual dan etik-moral menjadi barang langka dan sulit untuk ditemukan. Karena selama beberapa dasawarsa ini setiap pemimpin politik di Indonesia cenderung kolutif, nepotif, koruptif. Bahkan kecenderungan perilaku koruptif dulu sebelum reformasi berputar di kisaran pemerintah pusat, sekarang bergeser secara signifikan ke daerah, seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Syafi'i Antonio misalnya menyebut hal ini bermula dari untuk menjadi kepala daerah di Pulau Jawa dan Sumatera, Kalimantan serta Sulawesi saja misalnya dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 milyar rupiah, dengan tugas utama sebagai kepala daerah dengan program "balik modal".

Tidak lama setelah reformasi tepatnya pada 2002 tercatat terjadi 341 kali kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari 12 partai politik. Indeks korupsi yang dirilis ICW periode 2012-2014 mencatat skor tertinggi PDIP sebagai Parpol yang rentan kadernya terlibat korupsi. Tiga besar dari riset ICW itu adalah PDIP (7,7), PAN (5,5), dan Golkar (4,9) (Fatih, politiktoday.com, PDIP Jawara Korupsi di Era Reforasi). Polical and Economic Risk Cinsultancy (PERC) Hongkong, masih menempatkan Indonesia menjadi terkorup di Asia. Bahkan pada tahun 2002 mengutip temuan masyarakat Transfarancy Internasional yang berbasis di Berlin-Jerman menempatkan Indonesia sebagai Negara terkorup urutan ke-4 di dunia. Satu tahun kemudian 'naik' diurutan ke-6. Artinya, dari 133 negara yang diteliti pada tahun 2003, Indonesia masih bertengger di papan atas sebagai Negara terkorup di muka bumi ini.

Pada tahun 2013 Indonesia masuk ranking ke-114 dan 177 daftar Negara terkorup di dunia. Banyak juga tokoh politik dan ketua Partai Politik yang terjerat persoalan hukum.

Di negeri ini korupsi semakin membudaya dan seolah kehilangan urat malu. Apalagi menurut Nurcholis Madjid dengan mengutip pandangan Gunnar Myrdall berpendapat bahwa dari sisi etik, Indonesia masuk Negara yang soft state (Negara lunak), dalam artian sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dengan yang salah di masyarakat. Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan menjadi kejahatan yang sudah biasa. Partai politik dalam hal ini memberikan kontribusi besar dalam kasus ini melalui kader-kader yang menjadi kepala daerah.

Akibat dari fenomenan ini adalah terjadinya degradasi kepercayaan (trusting leader) terhadap kepemimpinan saat ini karena tidak mampu mengangkat kehidupan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bahkan dalam pandangan sebagian rakyat Indonesia, justru pemimpin-pemimpin yang ada sekarang semakin membawa keterpurukan yang sudah terjadi sebelumnya.

Diskursus tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan, erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini masih membutuhkan pemimpin yang kuat dari sector kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang sedemikian kompleks. Pemimpin dan kepemimpinan yang intregrative harus memilik pola pikir, sikap dan tindak sebagai negarawan dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu sebagai seorang pemimpin.

 




*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Cirebon Tinggal di Kandanghaur Indramayu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun