Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahmadiah di Bengkalis

5 Juli 2015   22:45 Diperbarui: 5 Juli 2015   22:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekte islam Ahmadiyah sudah lama ada di Indonesia. Sejak Indonesia belum merdeka. Presiden Soekarno juga ada menulis tentang Ahmadiyah di dalam bukunya yang berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi".

Bagi islam nusantara, warga Ahmadiyah adalah saudara sebangsa dan seagama, yang mempunyai kesamaan hak sebagaimana warga negara lainnya di republik ini.

Hari ini, para pengikut Ahmadiyah sudah ada di mana-mana, sampai ke pelosok negeri yang jauh, seperti Bengkalis. Tepatnya di Simpang Puncak, KM 13, Duri. Ada sekitar 40 keluarga muslim Ahmadiyah berdomisili di sana.

Pada tahun 2008, ketika persoalan kesesatan Ahmadiyah mencuat ke permukaan, riaknya sampai ke Bengkalis, tempat warga Ahmadiyah berdomisili. Kehebohan menjalar kemana-mana karena diblow up media islam nasional.

Beberapa kelompok islam, yang merasa paling islam dan paling benar, ikut berteriak keras. Mereka bertekad akan membakar mesjid warga Ahmadiyah di Simpang Puncak tersebut.

Warga masyarakat sekitar yang semula tentram dan tenang, tiba-tiba ikut kepanasan dan mencaci maki warga Ahmadiyah.


Pemicu munculnya kekisruhan itu adalah Fatwa MUI, yang menghakimi Ahmadiyah sebagai kelompok islam yang sesat.

Saya ikut melakukan aksi nyata, agar kekisruhan tidak meluas. Saya menghubungi camat Mandau agar secepatnya diadakan dialog dan pertemuan, antara warga Ahmadiyah dengan warga kota Duri yang sedang marah.

=============

Beberapa orang pengurus MUI kabupaten dan kecamatan setempat ikut terlibat dalam dialog. Pihak keamanan dan unsur pimpinan kecamatan, juga duduk bersama dengan warga Ahmadiyah dan masyarakat setempat.

Salah seorang guru islam Ahmadiyah yang hadir ketika itu adalah Abdul Qodir. Ia didampingi oleh kepala desa dan beberapa orang warga.

Pertemuan dipimpin oleh camat Mandau saat itu adalah Edi Emhar, didampingi bapak kepala KUA, Syamsir.

Saya hadir ke lokasi bersama dengan beberapa orang pengurus MUI. Di antaranya: Edi Purnomo, Siddik, Nurin, dan Nur Husni.

Pertemuan berlangsung dengan sangat santai dan bersahabat. Audiensi terbuka yang dilaksanakan hari itu sangat kondusif, tanpa sedikitpun ada ketegangan seperti diceritakan dalam koran lokal. Semuanya aman dan santai penuh canda tawa.

Saya bertanya kepada teman-teman Ahmadiyah tentang rukun iman, rukun islam, dan kitab suci yang dipedomani. Semua pertanyaan dijawab dengan baik dan sempurna. Semuanya sama dengan yang kita ketahui dan ajarkan di sekolah.

Rukun iman mereka ada enam, disebutkan satu persatu. Rukun islam juga ada lima dan disebutkan satu persatu. Kemudian kitab suci yang diimani dibaca dan diajarkan kepada anak-anak mereka adalah alQuran yang sama dengan yang kita miliki.

Dari audensi terbuka itu disimpulkanlah bahwa, warga Ahmadiyah yang ada di Simpang Puncak, KM 13, tidak sesat. Karena keimanan dan amaliyah warga Ahmadyah yang ada di Duri sama dengan umat islam setempat. Jauh berbeda dengan Ahmadiyah yang difatwa sesat oleh MUI pusat.

Masih belum puas dengan jawaban ketika audiensi -mungkin sudah dikondisikan, maka ditindaklanjuti dengan berkunjung ke mesjid dan rumah warga Ahmadiah yang tidak mengikuti pertemuan. Secara khusus, kami datang ke desa di Simpang Puncak, bersama dengan beberapa warga dan kepala desa setempat.

Setelah sampai di mesjid Ahmadiyah, kami melihat-lihat buku-buku berserakan. Ada beberapa alQuran dan buku khutbah jum'at di dalam almari mesjid, juga di atas mimbar khutbah.

Ternyata semua masih sama dengan yang kita kenali, tidak ada yang berbeda dengan islam orang Melayu. Buku khutbah dan alQuran mereka juga sama dengan yang kita miliki.

Selanjutnya, kami berkunjung ke beberapa rumah warga di sekitar mesjid, berbincang-bincang tentang hal yang sama: rukun iman, rukun islam, alQuran dan Gulam Ahmad. Warga ada yang hafal rukun iman dan rukun islam, ada juga yang tidak. Adapun alQuran yang dibaca dan dipelajari anak-anak mereka sama dengan alQuran kita.

Adapun tentang Gulam Ahmad, tidak ada dari warga Ahmadiyah yang mengenalnya. Yang mereka ketahui, nabi Isa AS dan imam Mahdi alMuntazhar sudah diturunkan oleh Allah. Ajaran yang dibawa oleh nabi Isa dan imam Mahdi adalah agama islam yang sama.

Selanjutnya, sebagian warga menjelaskan bahwa keduanya -nabi Isa dan imam Mahdi, meluruskan beberapa penyimpangan yang terjadi di dalam islam. Disebutkan juga oleh yang lain bahwa, keduanya sekedar memperbaharui beberapa paham keagamaan islam. Tetapi mereka tidak juga tahu, ajaran bagian mana yang diperbaharui.

Salah seorang warga dengan tegas mengatakan: "Jika ingin selamat di di dunia dan hari kiamat nanti, ikutlah agama islam yang dibawa nabi Muhammad saw."

Selanjutnya kami bertanya seputar kehebohan berita di koran tentang mesjid mereka yang akan dibakar. Ternyata, mereka tidak mengerti sama sekali. Mendengarpun tentang itu juga tidak pernah.

Kami melanjutkan berbincang tentang banyak hal. Bukan hanya agama, melainkan keadaan sosial dan kemasyarakatan. Berikut ini pengakuan warga yang dibenarkan oleh warga lain dan kepala desa yang ikut hadir:

"Di Simpang Puncak ini, kami hidup dan bergaul sesama warga dengan aman. Antara pemeluk islam lain dengan Ahmadiyah terjalin hubungan persaudaraan dan kekeluargaan. Banyak juga warga Ahmadiyah yang menikah dengan warga lain, dan tercatat kantor KUA."

Begitulah kenyataan di lapngan berdasarkan pengalaman saya menangani kasus Ahmadyah yang ketika itu sangat menghebohkan.

Setelah pulang, kami mendiskusikan dengan sesama pengurus MUI Bengkalis, tentang apa yang didengar, dilihat dan dirasakan di lapangan. Lalu menyimpulkan bahwa, perbedaan islam Ahmadiyah dan islam sunni hanyalah dalam penafsiran.

Menurut Ahmadiyah, nabi Isa dan imam Mahdi yang dijanjikan Tuhan akan diturunkan ke bumi di akhir zaman, guna memperbaiki kondisi keagamaan dan kemanusiaan, sudah diturunkan. Ghulam Ahmad itulah sosok yang diakui sebagai penjelmaan nabi Isa dan imam Mahdi.

Sedangkan menurut paham Sunni, keduanya oleh Allah belum diturunkan. Kalangan sunni percaya pasti Tuhan akan menurunkan keduanya dengan tujuan yang sama: memperbaiki agama dan kemanusiaan. Bedanya, kalangan sunni tidak mengetahui kapan keduanya akan diturun kembali.

Kesamaannya adalah memiliki kepercayaan akan kembalinya nabi Isa AS dan imam Mahdi. Tetapi, baik sekte Ahmadiyah, maupun sekte Sunni tidak pernah memasukkan kepercayaan itu dalam rukum iman, maupun rukun islam. Artinya hanya dipercayai karena pernah didengar dari para ustazd dan muballigh yang membacakan alQuran dan hadist nabi Muhammad saw tentang akan turunnya nabi Isa dan imam Mahdi.

Muslim Melayu tidak pernah mempersoalkan islam Ahmadiyah yang ada di KM 13 kota duri. Dengan kata lain, islam Ahmadiyah adalah islam yang sama. Keributan terlahir hanya karena ikut-ikutan, tanpa mengetahui masalah yang sesungguhnya.

Awak media tidak bisa juga disalahkan. Karena berita harian lokal, hanya menuliskan apa yang didengar, dilihat dan dirasakan, tanpa harus tahu persis persoalan.

Sebaiknya, masyarakat luas harus lebih selektif dan dewasa dalam menerima informasi yang ada. Karena peristiwa seperti kasus Ahmadiyah itu banyak terjadi. Persoalan kecil sengaja dibesar-besarkan demi sebuah kepentingan yang tersembunyi. Ada kelompok kecil di negeri ini yang sangat senang jika terjadi kerusuhan dan keributan.

Dan perpecahan atas nama agama sangat mudah terjadi. Jika sudah terjadi, sangat sulit pula untuk dihentikan. Sekali lagi, jangan mudah percaya dengan berita yang mengatasnamakan agama (islam). Islam adalah agama yang besar dan kuat di Indonesia. Tidak mungkin pula orang islam melecehkan agamanya sendiri. Dan mereka yang di luar islam juga tidak mungkin menjelek-jelekkan islam.

Hanya mereka yang bermental pengecut saja yang selalu merasa ketakutan tanpa dasar. Persoalan kecil dibuat heboh agar semakin membesar dan meluas. Perbedaan yang tidak prinsip dalam beragama dituduh sesat, bid'ah, bahkan kafir.

Begitu juga dengan beberapa istilah yang sengaja diciptakan untuk memojokkan yang berbeda. Sebutlah istilah syi'ah dan liberal yang selalu dihebohkan. Sesungguhnya yang terjadi tidaklah seperti yang diceritakan oleh sebagian yang ketakutan dan kemudian menebar kebencian.

Kenyataannya di lapangan, buku karangan Jalaluddin Rahmat, ketua Ijabi (syi'ah) dijadikan pegangan sebagian besar muballigh kita. Begitu juga dengan tulisan-tulisan dan buku karangan Ulil Abshar Abdalla, dedengkot JIL, juga banyak dibaca kalangan mahasiswa di banyak perguruan tinggi.

Bahkan, berdasarkan diskusi dengan beberapa kalangan yang menyalahkan syi'ah dan Jil, ternyata mereka tidak mengetahui mengapa harus menyalahkan. Dan dari kalangan mahasiswa yang menyuarakan kebencian terhadap syiah dan Jil, ternyata ketika menulis makalah juga mereferensi buku-buku karangan Jalaluddin Rahmat dan Ulil Abshar Abdalla.

Warga muslim nusantara, berhati-hatilah dengan gerakan para pembenci perbedaan yang memblow up istilah-istilah yang memojokkan dan menyesatkan yang berbeda. Ingatlah selalu bahwa, islam kita adalah islam nusantara yang cinta damai dan menghormati perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun