Mohon tunggu...
Damar Adi
Damar Adi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Homo Homini Socius

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan: Keadilan (?)

13 September 2022   07:00 Diperbarui: 13 September 2022   07:05 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan bukan sekadar proses hominisasi melainkan humanisasi (DISKURSUS, Jurnal Filsafat dan Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Oktober 2007). Hominisasi adalah bagaimana murid menimpa pelajaran dengan kata lain studi formal pada umumnya, sedangkan humanisasi adalah murid yang dibentuk supaya dapat olah pikir, olah rasa, dan olah kehendak. 

Gagasan tersebut merupakan apa yang tertuang dalam pemikiran Prof. Driyarkara, SJ. Pandangan beliau terlebih menyoroti supaya anak didik dapat memahami tentang makna manusiawi dari hidup yang mereka jalani lewat sarana yang ada, sarana tersebut dapat berupa alam ataupun sesamanya. Akan tetapi apa yang terjadi saat ini justru terbalik dari pandangan Driyarkara itu. 

Beberapa tahun lalu sebelum Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dihapuskan rasanya para murid seakan-akan dihadapkan dengan sebuah kengerian. 

Di setiap akhir dari tingkatan pendidikan (kelas VI, IX, dan XII) para murid harus berdarah-darah menghadapi segala macam ujian, ada ujian praktik, Ujian Sekolah Bertingkat Nasional (USBN), dan UNBK. Belum lagi mereka harus memikirkan batasan nilai syarat yang harus dicapai supaya dapat lulus.

Bagi murid kelas XII mungkin tantangannya lebih besar, karena setelah lulus mereka ditawarkan pilihan untuk mendaftarkan diri ke studi lanjut yang adalah perguruan tinggi. Saingannya pun bermacam-macam siswa dari seluruh Indonesia terlebih mereka yang mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri, banyak orang yang mengincar PTN karena notabene lebih terjangkau biayanya daripada Perguruan Tinggi Swasta. 

Dari pemerintah, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi menyediakan dua cara yakni Seleksi Nilai Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Tidak jarang dalam usahanya mengejar perguruan tinggi yang diinginkan, banyak murid yang menggenjot belajarnya dengan mengikuti bimbingan belajar atau biasa dikenal dengan nama les privat. 

Dengan kata lain apabila mengikuti bimbel seperti ini murid harus siap untuk mengeluarkan biaya tambahan dalam pendidikan. Padahal tidak semua murid berasal dari kalangan yang berada, sehingga untuk murid dengan kemampuan biasa lalu berasal dari golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, apakah dapat merasakan juga bimbingan belajar. 

Lantas pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka dapat bersaing secara kompetitif dengan murid lain yang mengalami bimbingan belajar dan akhirnya dapat memasuki perguruan tinggi yang diinginkan. Manusia memiliki keistimewaannya masing-masing, kemampuan yang ada dalam diri mereka tidak dapat disamaratakan, sejujurnya harus ada proses yang menilik dari sisi kemampuan manusia tersebut.

Transformasi Pendidikan

Dilansir dari Harian Kompas (8/9/2022) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan bahwa terdapat transformasi terhadap seleksi masuk PTN, antara lain SNMPTN, SBMPTN, dan seleksi mandiri. 

Untuk SNMPTN, pertama diberikan bobot minimal 50 persen, tujuannya supaya murid diharapkan memiliki prestasi di seluruh mata pelajaran, kedua untuk PTN memiliki pembobotan maksimal 50 persen yang diambil dari minat dan bakat. 

Lalu untuk SBMPTN tidak ada lagi seleksi dengan mata pelajaran tertentu, melainkan seleksi akan menggunakan pengukuran potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa Inggris, maka sekarang seleksi bersama lebih menitikberatkan kepada penalaran. Terakhir untuk seleksi mandiri pemerintah mengatur supaya PTN dapat lebih transparan kepada calon mahasiswa.

Sudah seharusnya dunia pendidikan Indonesia mengalami restorasi. Dahulu terdapat pepatah yang mengatakan jika orang miskin dilarang sakit, lantas apakah hal tersebut juga demikian dengan dunia pendidikan. Kalau seperti itu, sekarang apa makna sebenarnya dari kata yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan setiap warga memiliki hak dan kewajibannya. 

Berbicara mengenai pendidikan, para imam Yesuit (Serikat Yesus) menjadikan hal tersebut sebagai salah satu fokus karya mereka. Pada buku Berjalan Bersama Ignatius (2021), Pater Arturo Sosa, Pemimpin Umum Serikat Yesus mengatakan bahwa pendidikan yang baik merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan tegangan dan konflik sebagai peluang untuk tumbuh. 

Pendidikan menjadi sarana untuk mengembangkan solidaritas dan rasa peka terhadap sesama yang mengalami ketidakadilan. Fokus Serikat Yesus terhadap pendidikan sendiri telah tertuang dalam sejarah bangsa Indonesia, mereka hadir dan berkiprah juga di nusantara. Di dalam buku Semangat Lebih Yesuit (2009) diterangkan bahwa pada abad ke-19 Indonesia kedatangan dua orang misionaris dari negeri Belanda. 

Kedua misionaris tersebut bernama Pater Van Lith, SJ, dan Pater Hoevenaars, SJ. Memang tujuan utama mereka adalah menyebarkan Injil, seturut dengan semangat Imperialisme-Kolonialisme bangsa Barat. 

Namun, selain melakukan penyebaran Injili kepada masyarakat, dua orang misionaris tersebut juga melakukan sebuah pengajaran. Jika dilihat dari latar belakangnya, pada waktu itu masyarakat Indonesia berada dalam situasi keterbelakangan intelektual. Lantas pengajaran yang mereka lakukan itu mengartikan bahwa mereka turut melaksanakan sebuah karya penyelamatan ilahi. 

Dalam konteks ini maksudnya para misionaris memperhatikan orang-orang yang termarjinalisasi, bahwasannya keadilan seharusnya dapat dirasakan oleh semua orang.

Pendidikan yang Menjunjung Keadilan 

Perjalanan pendidikan di Indonesia cukuplah panjang. Di abad ke-19 aroma pendidikan cukup kuat tercium oleh karena kedatangan misionaris dari Belanda. 

Mulai saat itu riwayat pendidikan tertulis dan berkembang dalam sejarah, hampir di setiap pergantian pemerintahan kian sering muncul bahasan-bahasan mengenai pendidikan. Mengenai kebijakan yang diambil oleh Mendikbud beberapa waktu lalu menjadi salah satu contohnya. 

Pada dasarnya langkah yang diambil oleh Mendikbud ialah perihal tentang menjunjung tinggi asas keadilan. Pendidikan merupakan hak semua orang, sudah layak dan sepantasnya setiap orang mengenyam pendidikan. 

Pendidikan tidaklah memandang kasta dari manakah seseorang berasal. 

Kebijakan Nadiem ini merupakan contoh konkret dari proses humanisasi yang menjadi acuan untuk mewujudkan sebuah kemerdekaan bagi orang-orang yang kurang mampu namun memiliki kelebihan atau prestasi. 

Mau menambah berapa lama lagi anak bangsa ini mengalami ketertinggalan pendidikan di tengah lagu roda zaman yang berkembang dengan pesat. Ingatlah bahwa nasib negeri ini di masa depan berada di tangan anak-anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun