Langit sore itu lagi cakep banget. Jingga bercampur ungu, awan tipis berarak pelan kayak kapas dihembus angin. Gue, Arka, duduk di atap rumah sambil main gitar sumbang. Biasanya sore kayak gini jadi waktu paling santai sebelum PR matematika bikin kepala mumet. Tapi hari itu, gue nggak bisa tenang. Ada sesuatu di langit.
Awalnya gue kira cuma ilusi gara-gara mata gue silau kena matahari. Tapi jelas-jelas gue liat ada cahaya kecil, kayak bintang, tapi geraknya aneh---kadang zigzag, kadang berhenti, terus melesat lagi. Gue gelisah, langsung turun, terus manggil geng gue: Rendi, Nisa, sama Bagus. Mereka tetangga plus partner in crime gue.
"Eh, kalian liat nggak tuh?" gue nunjuk ke langit sore yang mulai gelap.
Rendi nyipit-nyipitin mata. "Woy, itu apa? Drone? Tapi kenceng banget, nggak kayak drone biasa."
Bagus, yang dari tadi asik ngunyah kerupuk, langsung ketawa. "Palingan Arka halu. Udah-udah, ayo mabar aja. Nanti keburu server penuh."
Nisa diem, tapi matanya fokus ke langit. "Itu bukan bintang. Dan... kayaknya dia jatuh ke arah hutan belakang."
Kami berempat saling pandang. Hutan belakang itu terkenal angker buat anak-anak kampung. Gelap, rimbun, banyak nyamuk, dan katanya ada ular gede. Tapi dasar kami geng sok berani, ujung-ujungnya memutuskan buat nyamperin malam itu juga.
Malam Pertama
Pukul sembilan malam, kami kabur dari rumah masing-masing dengan alasan klasik: "Belajar kelompok." Gue bawa senter dan gitar (ya siapa tau bisa buat modal keberanian). Rendi bawa snack, Nisa bawa kotak P3K, dan Bagus cuma bawa dirinya sendiri.
Masuk hutan, suasana langsung berubah. Angin dingin nusuk kulit, suara jangkrik jadi latar. Daun-daun kering berderak tiap kami nginjek.