Lembaran kalender menunjukkan hari Senin, tanggal 1 Jumadil Akhir 654 H, ketika sebuah getaran mulai mengguncang Madinah. Para pedagang, peziarah tanah suci, segenap penduduk dan seluruh manusia lainnya yang ada di kota suci itu merasakannya. Dan semuanya pun berharap getaran tadi hanyalah gempa biasa yang akan berhenti dengan segera secepat kedatangannya. Namun harapan sirna tatkala dalam empat hari kemudian secara berturut-turut getaran demi getaran justru terus terjadi dengan frekuensi kian kencang dan sering. Sedikitnya 18 getaran keras terjadi dalam waktu singkat di Jumat pagi. Dan siang harinya, kala semua orang berkumpul di Masjid Nabawi menanti waktu shalat Jumat, sebuah getaran keras, terkeras di antara semua getaran yang pernah ada sebelumnya, mengagetkan semuanya. [caption id="attachment_75533" align="alignnone" width="300" caption="Letusan model pancuran api. Jika magmanya kental, letusan ini adalah letusan Strombolian yang hanya membangun tubuh gunung berapi tanpa merusak. Namun jika magmanya encer, letusan ini sangat merusak. Letusan terakhir inilah yang dilihat penduduk Madinah pada Juli 1256 M"][/caption] Namun drama belumlah usai. Puncaknya terjadi di Sabtu pagi saat penduduk usai melaksanakan shalat Shubuh. Secara mendadak ketenangan dan keheningan fajar dibuyarkan oleh suara gemuruh saling susul-menyusul yang datang dari arah al-Hijaz dan diikuti pancuran bola-bola api merah kebiruan ke langit yang menerangi cakrawala. Selama berhari-hari kemudian pancuran api terus berlangsung tanpa henti, yang membuat langit malam menjadi benderang layaknya siang, sehingga bagian Raudhah di kompleks Masjid Nabawi bagaikan mendapat sorotan sinar Matahari terus-menerus. Cahaya terang bahkan bisa disaksikan dengan jelas dari wilayah Tayma’ dan kota suci Makkah al-Mukarramah, padahal keduanya terpisah sejauh 300 km dari Madinah. Sejarawan al-Qastalani menuliskan orang-orang pemberani yang mencoba mendekati sumber lontaran api menyaksikan pemandangan menggidikkan: cairan panas kental menggelegak berwarna merah-kebiruan dengan latar belakang enam titik pancuran bola-bola api bergerak mengalir perlahan seperti aliran sungai sembari membawa batu, pohon, tanah dan apa saja yang dilaluinya. Gerakan cairan tersebut disertai suara bergemuruh mirip petir sambung-menyambung dan hembusan asap belerang pekat yang menyesakkan dada. Demikian panasnya cairan tersebut sehingga tak seorang pun berani mendekatinya hingga lebih dekat dari dua lontaran anak panah (+/- 200 m) dari tepinya. 'Adegan panas' Sabtu pagi yang bertepatan dengan tanggal 1 Juli 1256 M tersebut adalah awal dari sebuah episode letusan besar gunung berapi Harrat Rahat di Jazirah Arabia. Letusan tersebut demikian dahsyat dengan tingkat ekstrusi magma yang bahkan sulit dibayangkan di era modern. Sebanyak 500 juta meter kubik magma dimuntahkan Harrat Rahat selama 52 hari kemudian, atau 3,6 kali lipat lebih banyak dibanding volume magma yang diletuskan Gunung Merapi di tahun 2010 ini. Gunung berapi di tanah Arab? Ya, jangan buru-buru mengernyitkan dahi. Jazirah Arabia bukan semata tanah luas nan gersang berwajah lautan pasir di sana-sini tanpa hiasan vegetasi. Jazirah ini juga bukan sekedar tanah tempat agama-agama samawi dilahirkan, tanah tempat nabi dan rasul diutus dan tanah tempat berdirinya haramain (dua tanah suci). Jazirah ini juga bukan hanya tempat tinggal manusia berwatak keras yang dikenal sebagai orang Arab. Namun lebih dari itu, jazirah ini adalah salah satu keajaiban geologi yang sulit dicari bandingannya dengan tempat lain di Bumi. Jazirah Arabia khususnya bagian barat (yakni kawasan Hijaz dan sekitarnya) adalah salah satu bentang lahan tertua di muka Bumi, yang telah eksis selama sedikitnya 600 juta terakhir. Bentang lahan tersebut dikenal sebagai Tameng Arabia (Arabian Shield), yang berpasangan dengan bentang lahan sejenis di Nubia (Nubian Shield) yang mengalasi Mesir dan menjadi tempat sungai Nil menghilir mengaliri padang pasir sebelum bermuara ke Laut Tengah. Namun di Tameng Arabia pula kita kita bisa menyaksikan lahirnya kerak Bumi yang baru seperti diteorikan J. Tuzo Wilson. Di bagian barat jazirah ini terbentang panjang Laut Merah, yang sejatinya adalah lembah besar yang digenangi air asin dari Samudera Hindia. Lembah besar ini bukanlah lembah biasa, sebab ia bersambung dengan lembah-lembah kurus lainnya yang menjulur dari Turki hingga Afrika Tengah dalam sebuah ekspresi yang dikenal sebagai Lembah Retakan Besar (Great Rift Valley). Dan Laut Merah pun bukan sekedar cekungan air asin biasa, sebab di tengah-tengah dasarnya kita akan menemukan retakan memanjang berbentuk perbukitan yang menjadi sumbu dasar perairan ini. Itulah retakan dimana arus konveksi yang bersifat cair kental panas dari lapisan selubung Bumi (asthenosfer) menyeruak ke permukaan, sebagai magma basalt toeilitik, membentuk kerak samudera baru yang mendorong menggerakkan dasar Laut Merah sebelah-menyebelah ke arah berbeda sehingga perlahan-lahan dasar laut ini kian meluas. Maka jangan heran jika di tengah-tengah Laut Merah ini, khususnya di bagian selatan dijumpai sejumlah gunung berapi laut yang muncul ke permukaan sebagai pulau dan berulang kali meletus. Tetapi retakan tidak hanya muncul di dasar Laut Merah. Penyelidikan panjang USGS (United States Geological Survey) yang dipimpin vulkanolog legendaris John Roobol dan Victor Camp bersama partnernya dari Saudi Arabia yakni SGS (Saudi Geological Survey) menunjukkan beberapa retakan juga muncul di daratan Tameng Arabia. Seperti halnya di Laut Merah, retakan tersebut pun menjadi tempat keluarnya magma basalt toeilitik yang bersifat basa dan hampir sama dengan magma basaltik yang biasa ditemukan di dasar laut. Dengan demikian retakan ini pun menjadi titik awal tumbuh dan berkembangnya vulkanisme di Jazirah Arabia khususnya vulkanisme Hijaz sejak 10 juta tahun silam. Jangan bayangkan vulkanisme di sini akan menghasilkan gunung berapi berbentuk kerucut tinggi yang indah seperti halnya gunung-gunung berapi komposit (stratovulcan) di Indonesia. Dengan sifat magma basalt toeilitik yang cair encer, ekstrusi magma melalui retakan hanya akan menimbulkan leleran (erupsi efusif) yang membuat lava menyebar kemana-mana tanpa sempat membentuk gundukan tinggi. Oleh karena itu gunung-gunung berapi dalam vulkanisme Hijaz boleh dikata 'jelek' secara panoramik, sebab hanya berupa endapan lava berwujud tumpukan batu dan pasir kehitaman menutupi wilayah yang luas dengan beberapa kerucut sinder/debu yang berketinggian rendah muncul di wajahnya. Meski begitu jangan silap, don't judge a book by the cover, 'jelek-jelek' begitu vulkanisme Hijaz sungguh luar biasa, yang secara akumulatif telah mengendapkan lava basalt menutupi wilayah seluas 180 ribu km persegi atau setara sepersepuluh luas Indonesia. Karena magma keluar tidak di margin lempeng tektonik dan bukan dari proses subduksi, vulkanisme Hijaz merupakan vulkanisme jenis lain yang disebut vulkanisme titik-panas atau plume volcanism yang bisa disetarakan dengan vulkanisme di Hawaii. [caption id="attachment_78038" align="alignnone" width="601" caption="Posisi Madinah dilihat dari udara, atas adalah utara. Nampak kota ini 'dikepung' tiga gunung berapi raksasa : Harrat Rahat, Harrat Khaybar dan Harrat Lunayyir. Sumber : Ma'rufin, 2010"]




Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI