Save Our School, Change Education to Educating (2000), sebuah buku yang ditulis oleh Ralph E. Robinson dan Barbara A. Beswick ini sangat mengisnpirasi sekaligus membantu dalam mendesain sekolah di zaman yang sangat berkembang pesat.Â
Pendidikan harus meyesuaikan zaman supaya tidak tertinggal jauh di belakang. Segala dinamika dan problematika dalam dunia pendidikan, sekolah khususnya, diulas dengan sangat detail dan sesuai zamannya. Salah satunya, hidden curriculum pun terolah di dalamnya, tentang bagaimana nilai-nilai kehidupan terimplementasi dengan baik dan berkesinambungan dalam rutinitas belajar.
Pendidikan di Indonesia terus-menerus dipusingkan dengan agenda ujian tahunan dengan segala problematiknya. Paradigma dan konsep dasar tentang ujian terkadang sangat kabur dan cenderung menjadi momok yang menakutkan bagi anak didik dan orang tua. Begitu mengkhawatirkan sebagai sebuah eksekusi masa depan, antara gagal atau berhasil.
Dalam pendidikan yang berorientasi proses hendaknya segala evaluasi termasuk ujian sekolah atau ujian jenis apapun menjadi sebuah proses pembelajaran yang berkesinambungan yang dikenal dengan assessment as learning. Dengan demikian, konteks pembelajar atau peserta didik dipertimbangkan dalam kontekstualisasi proses pembelajaran dan evaluasinya.
Grant Wiggins dan Jay McTighe dalam bukunya Understanding by Design membuka tulisannya dengan sebuah analogi bahwa pendidik itu bak seorang desainer layaknya arsitektur, insyinyur, atau desain artistik.Â
Sebagai desainer pendidikan, pendidik dapat mendesain kurikulum dan pembelajaran bersama peserta didik demi tujuan tertentu yang menjawab kebutuhan peserta didik dalam kehidupan nyata. Dalam jiwa desainer pendidikan itu pula, pendidik juga dapat mendesain bentuk evaluasi yang sesuai dengan dengan proses pembelajaran yang telah diimplementasikan bersama peserta didik.Â
Sebuah evaluasi yang mengenal sungguh konteks anak didik mesti dikedepankan dalam kerangka pendidikan yang sungguh-sungguh menekankan proses daripada hasil belaka. Ujian sejatinya adalah sebuah perayaan dari proses pembelajaran, bukan eksekusi yang menakutkan.
Pendidikan Kontekstual
Mendesain pendidikan yang kontekstual dengan evaluasi yang sungguh mengukur proses pembelajaran yang dialami anak didik adalah sebuah aspek esensi dalam pengembangan pendidikan.Â
paradigma pendidik dalam mendesain sebuah pembelajaran. Ada kecenderungan bahwa pendidik lebih menekankan pada apa yang akan diajarkan sehingga terjebak pada pembelajaran berorientasi materi menurut versi pendidik. Padahal seharusnya pendidik lebih menekankan pada apa yang seharusnya anak didik pelajari dan bagaimana menyampaikannya.
Lorraine A Ozar dalam bukunya Creating A Curriculum That Works mencoba menekankan pentingnya perubahanPendidikan sesungguhnya adalah sebuah seni memanusiakan manusia lewat berbagai model pembelajaran yang memberikan dorongan dan antusiasme untuk berkembang dan menjadi manusia yang lebih baik. Orang semestinya datang ke sekolah dengan semangat dan kegembiraan, bukan dengan kekhawatiran dan ketakutan apalagi eksekusi evaluasi atau ujian yang siap menghadang di depan mata. Sangat ironis.
Ada baiknya kita sejenak merenungkan segala problematika di dunia pendidikan. Kembali mengingat dan menghadirkan tujuan pendidikan ini untuk siapa adalah awal dari sebuah kesadaran kita.Â
Kurikulum dengan segala aspek di dalamnya seharusnya menjawab kebutuhan siswa dan sekaligus membantu siswa berkembang dengan segala keragamannya.
Jeffrey Glanz (2006) dalam bukunya Cultural Leadership menekankan bahwa sekolah ada untuk anak didik. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan dan sekolah khususnya ada demi kemajuan dan perkembangan anak-anak bangsa ini.Dalam tataran praktis, pendidik dituntut sungguh mengetahui kebutuhan anak didik sehingga pembelajaran itu sungguh-sungguh bermakna. Analisis kebutuhan menjadi sebuah media pendidik untuk mengenal latar belakang dan kebutuhan anak didik seperti apa yang ditekankan oleh Ralph W Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction.Â
evaluasi harus berdasarkan latar belakang anak didik, tujuan pembelajaran, proses pembelajaran, life value yang ditekankan, dan perkembangan peserta didik.Â
Berangkat dari pengalaman Tyler ketika harus mendesain pembelajaran untuk anak-anak yang berasal dari berbagai ras di Amerika waktu itu, akhirnya Tyler menyadari bahwa pembelajaran bukan hanya berbicara materi belaka tetapi prior knowledge dan keadaan lingkungan anak didik itu juga. Dengan demikian,Akhirnya, kehadiran dan peran negara harus benar-benar diletakkan pada posisi dan fungsi yang tepat dengan filosofi pendidikan yang tepat dalam mengusahakan kualitas pendidikan nasional. Sebuah kesadaran besar harus dibangun bahwa kualitas pendidikan harus dicapai dengan cara elegan, humanis dan kontekstual, seperti pengembangan school culture dalam komunitas pembelajar, professional development untuk pendidik dan pemimpin sekolah, pengembangan pembelajaran reflektif, dan sinergisme antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Jangan buat Indonesia selalu menangis! Indonesia Bisa.