Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (48): Astronot, Asa, dan Lara untuk Cita-cita

12 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 12 Maret 2021   04:16 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. line.17qq.com

Mayoritas cita-cita adalah sebuah hal baik yang ingin dicapai di masa depan. Cita-cita yang baik seringkali harus berbenturan dengan berbagai persepsi. Itulah yang disebut dengan pemurnian cita-cita dalam hidup. Semesta sudah mengatur semua rencana dan cita-cita dalam rotasi kehidupan.

Langit malam ini sangatlah anggun, bagai selimut yang memeluk erat bumi ini. Bintang-bintang menghiasi selimut hitam dengan serentak dan indah. 

Mataku terikat dengan pemandangan di depanku ini, dikelilingi aurora-aurora yang muncul secara ajaib. Ternyata benar kata Pak Dana, bahwa hidup sendiri adalah misteri yang belum bisa terpecahkan. Masih kuingat masa kecilku di mana aku sering mengayuh sepeda untuk pergi ke perpustakaan. 

Pak Dana menunjukkan buku-buku tentang astronomi dan benda-benda di luar sana. Benda-benda yang sama sekali belum pernah dikunjungi manusia sebelumnya.

Mimpiku untuk menjadi seorang astronot memang ditentang habis-habisan oleh orangtuaku. Mereka berharap aku dapat menjadi seorang dokter yang bisa membantu desa. Desa yang sunyi dan dikelilingi oleh hutan ini. 

Terhampar ilalang yang tumbuh di pinggir sungai yang deras, yang telah mengambil tempat di hatiku. Sejak kecil, aku sering diajak Pak Dana untuk memanjat menara di pinggir desa. 

Dari situlah, aku mulai senang mengamati bintang dan bulan yang indah. Kucoba cara demi cara untuk memenangkan hati orangtuaku, walaupun hati mereka sangatlah keras. Sedih bagiku untuk melawan keinginan mereka, sampai revolusi terjadi di dalam pikiran dan hatiku.

Masih teringat wajah ayahku saat kuberitahu tentang mimpi kecilku. Alis hitamnya, bagaikan dua tanda koma di atas kedua matanya, mulai mengerut. Koran yang ia pegang segera dilempar ke mukaku dengan keras. 

Dia ingin berteriak, namun ia segera jatuh tersungkur ke lantai, tak berdaya. Darah keluar dari hidungnya, mengenai tinta tulisan di dalam koran. Ibu membawanya ke dokter terdekat dengan rasa panik. 

Hujan deras membuat jalan raya menjadi sangat licin. Daun-daun berguguran dan memenuhi jalan itu dengan cepat. Aku hanya berharap ayah dapat selamat dan masih hidup. Keesokan harinya, doaku dijawab Tuhan dengan pemakaman ayahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun