Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Senja (27): Kota dalam Sebuah Sketsa Impian

19 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 19 Februari 2021   07:26 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. weheartit.com

Mimpi menjadi cerita tak terduga di saat mata terlelap dalam tidurnya raga. Impian menjadi cerita terencana di saat mata terbuka dalam bugarnya raga dan jiwa. Realita akan menjadi jawaban atas segala daya dan usaha menggapai impian itu seiring putaran waktu.

Di malam hari yang penuh bintang aku duduk termenung di kamarku. Sebuah buku terletak di pangkuanku, namun tidak kusentuh sama sekali. Mataku fokus menatap langit malam hari ini yang penuh dengan bintang. Pikirku berkelana memikirkan nasib hidupku yang tidak menentu ini. Tiba-tiba di tengah lamunanku aku mendengar suara bel sepeda, ternyata aku kedatangan tamu. Tamu itu tetangga sekaligus sahabatku sendiri, Lina yang memang sering menginap di rumahku. Lina langsung masuk ke kamarku setelah mengucap salam dan kami langsung terlarut dalam sebuah percakapan.

Sembari kami duduk di kasur kamarku, kami berbicara mengenai hidup kita di desa. Aku bercerita padanya kalau aku mulai bosan hidup di desa ini, aku ingin pergi ke kota merevolusi hidupku. Ternyata Lina memiliki pemikiran yang sama denganku. Karena mulai merasa Lelah, kami memutuskan untuk tidur. 

Keesokan paginya kami memutuskan untuk pergi berkeliling desa. Sembari berjalan melewati sungai yang sekitarnya dipenuhi oleh ilalang kami melanjutkan percakapan kami semalam. Karena merasa lelah, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di bawah menara air yang ada di desa kami.  Setelah cukup lama berdiskusi, kami akhirnya memantapkan hati untuk merantau ke kota. Segera kami pulang untuk meminta izin pada orang tua masing-masing.

Dari pinggir jalan raya aku melihat ayahku duduk di teras sambil membaca koran. Dengan ragu aku melangkahkan kakiku menembus daun-daun yang berguguran di depan rumahku. Aku juga melihat ibuku yang juga duduk di samping ayahku sambil mengupas buah. Perlahan aku berusaha menyampaikan niatku untuk merantau ke kota. Seketika pisau tajam menggores jari ibuku hingga meneteskan darah membasahi meja usang yang sudah ternoda oleh tinta. Tanpa berbicara aku sudah tahu apa jawaban dari orang tuaku. Tanpa berucap apa pun aku segera lari masuk ke kamarku, mengkomakan diriku di kasur kamarku.

Sudah tiga hari ini aku tidak berbicara dengan orang tuaku. Aktivitasku di rumah kulakukan tanpa berbicara dengan orang tuaku, hari-hariku monoton seperti berkeliling di sebuah lingkaran. 

Keputusanku bagaikan tanda titik yang tidak bisa diubah lagi. Aku duduk di kamarku ditemani sebotol air dan sebuah buku yang warna halamannya mulai menguning. Dari jendela kamarku kulihat ayah dan ibuku duduk di teras rumah. Ayah membaca koran seperti biasa dan ibu yang memintal benang menjadi sebuah rantai pintalan. Perlahan aku mulai sadar kalau sulit bagiku untuk meninggalkan mereka. Sepertinya aku harus mengurungkan niatku untuk pergi.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak pergi. Perlahan dengan membawa kursi kecil aku duduk di samping ayahku untuk menyampaikan niatku. Namun sebelum aku menyampaikan niatku, ayah memberikanku sebuah amplop kertas berisikan uang. Aku menatap bingung ayahku yang sedang meminum segelas air putih. Ternyata ayahku mengizinkanku pergi ke kota. Berbekal uang secukupnya dan sebuah pesan dari ayahku, akhirnya aku pergi. Hingga kini, pesan dari ayahku masih kuingat. "Di peradaban yang modern ini, tetaplah jadi manusia yang selalu fokus pada anak panah kehidupan.''

*WHy-clOM

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun