Jika dibandingkan dengan kedalaman reflektif para filsuf di atas, wacana self-love modern sering kali jatuh dalam paradoks. Di satu sisi, ia menekankan pentingnya kesehatan mental dan penerimaan diri; namun di sisi lain, ia terperangkap dalam narsisisme sosial dan konsumtivisme.
Self-love hari ini kerap menjadi komoditas — dikemas dalam bentuk produk kecantikan, slogan motivasi, dan pencitraan media sosial. Cinta diri kehilangan aspek reflektif dan menjadi sekadar alat pelarian dari ketidaknyamanan eksistensial.
Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Kierkegaard, Fromm, dan Nietzsche, mencintai diri sejati justru menuntut keberanian menghadapi penderitaan, kesalahan, dan keterbatasan diri. Ia adalah proses spiritual dan eksistensial, bukan tren gaya hidup.
Kesimpulan
Seni mencintai diri sendiri, jika dilihat secara filosofis, bukanlah tentang memanjakan ego, melainkan tentang membangun kesadaran dan tanggung jawab eksistensial. Kierkegaard menekankan cinta diri sebagai panggilan spiritual, Fromm melihatnya sebagai kebajikan etis, dan Nietzsche menafsirnya sebagai afirmasi kehidupan yang otentik.
Ketiganya mengajarkan bahwa mencintai diri tidak bisa dilepaskan dari keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya — manusia yang sadar, bebas, dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan penuh ilusi digital, seni mencintai diri sejati adalah revolusi sunyi: sebuah perjalanan kembali ke kedalaman diri, untuk menemukan cinta yang bukan sekadar untuk “aku”, tetapi untuk kemanusiaan itu sendiri.
Daftar Pustaka
Fromm, Erich. The Art of Loving. New York: Harper & Row, 1956. Diakses pada 1 Oktober 2025
Kierkegaard, Søren. Works of Love. New York: Harper Torchbooks, 1962 (original work published 1847).
Nietzsche, Friedrich. Thus Spoke Zarathustra. Translated by Walter Kaufmann. New York: Penguin Books, 1978.
Wilde, Oscar. The Picture of Dorian Gray. London: Ward, Lock and Company, 1890.