Mohon tunggu...
marsya martia
marsya martia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partisipasi dan Representasi Politik Perempuan Demi Mewujudkan Kesetaraan Gender

1 Desember 2018   22:26 Diperbarui: 1 Desember 2018   22:37 2177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Perempuan selalu dipandang sebelah mata dan dianggap berada pada lapisan rendah. Sempitnya kesempatan perempuan dalam berpartisipasi politik dan adanya anggapan bahwa perempuan  belum sepantasnya untuk duduk di ranah publik, khususnya pemerintahan. Karena pada dasarnya perempuan lebih diharapkan untuk membatasi geraknya hanya sebatas pada lingkup rumah dan  keluarga. 

Padahal, perempuan juga punya hak setara untuk berkiprah dalam politik. Maka dari itu, keterwakilan perempuan dalam politik sangatlah penting. Sebagai negara yang sedang melakukan proses memperkuat demokrasi. Keadaan mengenai representasi di dalam parlemen ataupun berpartisipasi politik merupakan hal yang sangat penting. Lalu, bagaimana menguatkan keterwakilan dan partisipasi politik perempuan dalam kesetaraan gender?

Munculnya diskriminasi gender dan rendahnya partisipasi serta representasi politik perempuan  membuat  khawatir para perempuan di Indonesia. Karena aspirasinya tidak bisa tersampaikan dengan baik dan  bisa terjadi penyelewengan kebijakan tanpa memikirkan posisi perempuan. Padahal perempuan merupakan salah satu subjek yang penting dalam proses untuk pengambilan keputusan yang terjadi dalam penyelenggaran negara. 

Bagi perempuan, politik formal maupun informal akan selalu berdampak dan terkait, contohnya ialah kenaikan harga sandang pangan akan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan dan manajemen rumah tangga. Namun demikinan, dalam aktivitas politik seringkali tidak mengikutsertakan dan  mengabaikan  aspirasi perempuan yang dianggap hanya ranah privat, bukan formal.[1] 

Oleh karena itu, topik ini penting untuk diangkat dengan  tujuan agar pembaca mengetahui dan teredukasi betapa pentingnya bentuk partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan negara. 

Karena partisipasi dan keterwakilan ini tentu dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dalam mewakili, mengawal, memengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan serta pembangunan yang berdampak luas bagi masyarakat.  Berkaitan dengan topik ini, tindakan afirmatif menjadi langkah untuk memajukan dan meningkatkan dalam hal kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan, yang bersifat substantif.

Indonesia merupakan  negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan memiliki sistem pemerintahan yang demokrasi. Negara Indonesia menerapkan sistem demokrasi ini sudah pasti berkaitan dengan rakyat. Pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat disampaikan melalui lembaga perwakilan rakyat.[2] Pemerintahan yang demokratis tentunya mengakui kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Maka dari itu, munculnya masalah kesetaraan yang lebih bersifat substantif menuju kesejahteraan dan keadilan bagi semua menjadi salah satu tujuan utama untuk menyelenggarakan  negara. 

Dan sebagai negara welfare state, campur tangan pemerintah  dalam mengurusi kepentingan rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan masalah yang tidak bisa dielakkan pasti mengemban amanat yang diberikan oleh rakyat untuk keperluan kesejahteraan dan keadilan rakyat.[3] Keperluan tersebut tentunya harus bersifat adil untuk laki-laki dan perempuan. 

Tetapi, faktanya banyak kebijakan ataupun keputusan yang tidak sepenuhnya bersifat adil dan mewakili kaum perempuan. Maka dari itu, hadirnya representasi perempuan dalam bidang politik menjadi salah satu makna agar keputusan ataupun kebijakan pemerintah menjadi responsif gender. Hal itu tentu berdampak besar kepada kesetaraan gender di sistem pemerintah yang berbasis demokrasi.

Pemahaman mengenai kesetaraan gender harus terus dilakukan. Khususnya oleh kaum muda perempuan, yang memiliki kesempatan untuk menjadi tulang punggung perubahan politik yang lebih baik sekaligus menjadi elemen kunci memanifestasikan kesetaraan gender dengan meninggalkan penindasan berbasis gender. Hal itu pula akan menjadi sebuah kesempatan perempuan untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan serta pelbagai kebijakan yang nantinya bisa mewujudkan hak-hak perempuan seutuhnya.

Tulisan ini akan menjawab bagaimana peluang partisipasi dan  representasi perempuan  dalam  aktivitas politik,  tindakan  mewujudkan kesetaraan gender dalam aktivitas politik Indonesia dan gerakan perempuan memperjuangkan representasi perempuan 30% di ranah politik. Sistematika penulisan ini akan dibagi dalam tiga bahasan yang diawali dengan pembahasan partisipasi dan representasi politik perempuan, tindakan mewujudkan  kesetaraan gender dalam aktivitas politik, dan gerakan perempuan memperjuangkan representasi perempuan 30% dengan kebijakan afirmasi disertai bukti argumen yang mendukung.

   

Peluang Partisipasi Perempuan dalam Aktivitas Politik 

 

Sebagai insan politik, manusia merupakan salah satu pemain peran yang paling dasar dalam melakukan aktivitas politik pemerintahan, baik perannya sebagai aktor utama maupun tujuan.[4] Setiap insan politik patut mampu memperlihatkan partisipasinya dalam kegiatan yang bertujuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan atau kebijakan oleh pemerintah. Partisipasi merupakan salah satu bentuk aktivitas politik. Partispasi politik didefinisikan sebagai kegiatan individu atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan cara memilih pimpinan negara dan secara langsung ataupun dengan tidak mempengaruhi kebijakan pemerintah.[5] Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond adalah konvensional dan  nonkonvensional. Konvesional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern. Contohnya adalah memberikan suara, diskusi kelompok, dan kegiatan kampanye. Sedangkan, nonkonvesional seperti petisi, berdemontrasi, konfrontasi dan lain sebagainya. Lalu, mengikuti pemilihan umum merupakan salah satu wujud partisipasi politik. Setiap warga negara berhak menyertai dalam pemilihan umum tanpa terkecuali. Begitu juga dengan perempuan.

 

Partisipasi politik perempuan merupakan bentuk keterlibatan penting demi menciptakan kesetaraan gender di bidang politik. Tetapi, sayangnya banyak sekali hambatan perempuan  dalam  memasuki aktivitas politik. Perempuan yang berpolitik cenderung dianggap tidak mempunyai dasar dalam parlemen atau pemerintahan. Maka dari itu, menimbulkan kesulitan akses perempuan untuk masuk ke dalam dunia politik. Selain itu, masih berkembangnya paham mengenai kodratnya perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga dan masih terjadi kedilematisan perempuan dalam  memainkan peran ganda. Kuatnya unsur agama di Indonesia pun bisa menjadi hambatan. Beberapa orang masih melihat perempuan tidak sepatutnya berpolitik, maka dari itu struktur kepemimpinan masih didominasi oleh kaum laki-laki. Bukti itu didapat hasil survey yang menyatakan bahwa perempuan yang menjadi anggota DPR RI dalam lembaga legislatif tingkat pusat pada pemilu 2009 berjumlah 100 orang dari 560 anggota DPR RI dengan persentase 17,9. Padahal jumlah perempuan di Indonesia mencapai persentase diatas angka 50. Bisa disimpulkan bahwasanya masih lemahnya keterwakilan perempuan di parlemen. Padahal perempuan merupakan kelompok yang vital untuk diperhatikan aspirasi ataupun kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan politik dan permususan  kebijakan.[6] Maka dari itu, keterwakilan politik perempuan seharusnya tidak hanya kegiatan masuk dalam proses, mekanisme, lembaga dan sistem politik tetapi harus mampu memperluas basis konstituen.[7] Lemahnya representasi perempuan dalam proses kegiatan politik diperlukan strategi peningkatan partisipasi ataupun keterwakilan perempuan melalui regulasi undang-undang mengenai hal ini.

 

Lemahnya keterwakilan tanpa mementingkan kepentingan perempuan mengakibatkan munculnya kebijakan negara seperti RUU anti pornografi dan anti pornoaksi dan peraturan daerah di berbagai daerah dengan penafsiran sempit atas agama tertentu yang membiaskan HAM, gender, dan mereduksi hakikat demokrasi.[8] Hal tersebut merupakan bukti implementasi atas hak sipil dan politik belum sepenuhnya mendapat ruang gerak dari negara. Maka dari itu, pemerintah harus memberikan peluang keterwakilan perempuan yang proposional, adil dan setara untuk meminimalisir diskriminasi gender dengan tindakan yang bisa mewujudkan kesetaraan gender. Para perempuan tentunya juga harus sadar bahwa perannya dalam demokrasi Indonesia dapat memengaruhi kebijakan pemerintah. Maka dari itu, sudah sepatutnya para perempuan memperjuangkan hak-haknya agar terciptanya kesetaraan gender.

  

Tindakan Mewujudkan Kesetaraan Gender

 

            Pemahaman mengenai kesetaraan gender harus terus dilakukan. Khususnya oleh kaum muda perempuan, yang memiliki kesempatan untuk menjadi tulang punggung perubahan politik yang lebih baik sekaligus menjadi elemen kunci memanifestasikan kesetaraan gender dengan meninggalkan penindasan berbasis gender. Survei yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan sebelum terjadi pada pemilu  tahun 2009, mengungkapkan masih adanya terjadi intimidasi dan diskriminasi yang berdasarkan gender kepada calon  legislatif perempuan.[9] Karena masih banyak orang berpikir bahwasanya perempuan tidak cocok memegang kedudukan tinggi di bidang politik disebabkan  kurangnya pelatihan dan pendidikan yang bersangkut-paut. Maka dari itu partai politik memberikan pertimbangan terhadap subordinasi perempuan dengan alasan tidak memiliki kapasitas dalam bidang politik seperti kurangnya penalaran, kemandirian, dan waktu di kalangan perempuan.

 

Dunia politik memang selalu dihubungkan dengan ranah  publik yang relatif  hanya untuk laki-laki dan perempuan hanya berada di ranah domestik, mengingat akar budaya mayoritas di Indonesia masih kental dan  kuat dengan patriarki. Budaya patriarki ini secara tidak sadar membentuk perbedaan perempuan dan laki-laki dengan perbedaan perilaku, otoritas, dan statusnya di mata masyarakat yang kemudian membentuk hierarki gender. Hal tersebutlah yang masih terikat dengan masyarakat kita. Patriarki tersebut membangun stigma yang merugikan pihak perempuan untuk terjun dan aktif berkarier di ranah politik dan menjadi pemimpin. Perempuan dianggap individu yang sangat bergantung, lembut, tidak agresif dan berdaya serta hanya mengandalkan naluri. Tidak seperti laki-laki dengan individu yang memimpin, displin, agresif dan lain sebagainya.[10] Maka dari itu, pemerintah harus memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan agar bisa bergerak dalam dunia politik, termasuk menjadi pemimpin.

 

            Sebagai  negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, tentunya Indonesia menjunjung tinggi kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk menjadi pemimpin ataupun berpartisipasi di dalam kegiatan politik. Hal itu terlukis dari hadirnya UU Pemilu No 12 Tahun 2003 tentang Parpol pasal 65 ayat (1) yang memperjuangkan tindakan afirmatif dengan menyatakan bahwa setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon legislatif seperti DPR, DPRD provinsi dan kota untuk setiap wilayah pemilihan dengan mengamati keterwakilan perempuan 30% serendah-rendahnya. Upaya ini dipandang sebagai langkah awal positif bagi perempuan agar bisa mengambil peran dan ikut serta berpartisipasi aktif di ranah publik. Walaupun pasal tersebut tidak melahirkan sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankannya, tetapi pasal ini berpengaruh dengan adanya peningkatan jaminan representasi perempuan dalam bidang politik.[11] Sehingga eksistensi perempuan  tidak dipandang sebelah mata lagi dan meningkat dari objek politik menjadi subjek politik. Akhirnya, posisi perempuan dapat dibangun dengan perubahan yang progresif melalui aktivitas para aktivis perempuan dalam meningkatkan gerakan perempuan dalam kegiatan politik untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan 30%.

  

Gerakan Perempuan Memperjuangkan Keterwakilan Perempuan 30%

 

            Gerakan yang mendorong kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki merupakan salah satu gerakan feminisme. Gerakan ini terus berkembang seiring berjalannya waktu. Gerakan ini juga diperjuangkan di Indonesia, demi adanya keterwakilan perempuan di dalam kegiatan politik. Keterwakilan ini mendapatkan titik cerah ketika hadirnya kuota 30% untuk perempuan dalam kursi parlemen.  Kuota 30% peremuan merupakan sebuah tindakan afirmatif yang bertujuan untuk menambah jumlah perempuan di parlemen, maupun di berbagai jabatan ranah publik. Gerakan ini memperjuangkan pertambahan kuantitas perempuan di ranah publik untuk melakukan kegiatan politik. Hal ini diperjuangkan karena realitasnya partisipasi perempuan Indonesia di ranah politik dan tingkat representasi perempuan dalam  lembaga politik formal di nasional atau lokal masih lemah. Kondisi ini dipercaya oleh para aktivis perempuan akan berdampak langsung pada kebijakan negara karena keterwakilan yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan keputusan atau kebijakan tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Representasi perempuan dalam bidang politik diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 dengan menghadirkan kuota minimal 30% untuk perempuan di parlemen dan munculnya Pasal 65 UU Pemilu. UU ini kemudian diperbaharui dengan hadirnya UU Pemilu No. 10 Tahun 2008. UU ini mengharuskan partai politik agar memenuhi kuota yang sudah ditetapkan dalam UU tersebut, yaitu 30% untuk mencalonkan kandidat perempuan dalam legislatif. Dan UU ini diperkuat lagi dengan hadirnya regulasi UU No. 2 Tahun 2008 mengenai parpol. Kuota 30% untuk perempuan menjadi salah satu prasyarat ataupun ketentuan dalam kepengurusan partai politik.[12]

 

            Pergerakan perempuan memperjuangkan representasi perempuan 30% di parlemen merupakan  salah satu aktivitas politik yang bersifat demokrasi untuk semua perempuan di dunia termasuk Indonesia. Dengan hadirnya perubahan UU Pemilu dan partai politik yang sekarang ini lebih melibatkan perempuan dalam bidang politik. Hal ini menunjukan bahwa adanya perubahan mengenai sistem politik Indonesia yang lebih demokratis[13] dan menjadi salah satu bukti konkret hadirnya kemajuan yang cukup pesat mengenai kesetaraan gender di Indonesia. Pergerakan perempuan yang pada mulanya diawali dengan kongres APU yang terjadi pada tahun 1995, perjuangan kuota diperbincangkan dan anggota kongres sepakat dengan kuota 30% di parlemen untuk perempuan. Lalu, ketika tahun 1996 ditentukan dalam kongres perempuan dunia di China bahwasanya keputusan APU dan Kongres Beijing menjadi dasar perjuangan perempuan mengenai kuota 30%. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan perempuan di Indonesia untuk mewujudkan kuota 30% tersebut.

 

Pada tahun 2001, gerakan perempuan lebih terarah dan terencana yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan di LSM, Ornop, Perempuan Parlemen dan Perempuan Partai politik. Langkah  awal yang dilakukan adalah dengan mempersatukan  persepsi diantara perempuan dan organisasi perempuan. Kelompok yang mendukung perjuangan tindakan afirmatif dikenal dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia yang merupakan gabungan 17 partai politik yang merupakan  perempuan anggota DPR-RI, 38 LSM, ORMAS. Lalu, ada Jaringan Perempuan dan Politik, dan KOWANI. Kegiatan advokasi yang dilakukan adalah dengan kegiatan seminar, lokakarya, kunjungan parpol, menulis di media cetak dan lain sebagainya. Pada 28 Novermber 2002, rapat paripurna pengesahan RUU partai politik gagal total dengan  ketidakberhasilan  mencatumkan kuota 30%. Strategi diubah lebih melakukan pendekatan subjektif dan personal kepada anggota pansus serta fraksi DPR. Akhirnya, keputusan  pun disetujui untuk memasukkan kuota 30% dalam Pasal 65 ayat (1)  UU Pemilu No. 12 Tahun 2003. Namun, undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan, jumlah perempuan hanya 11,09% diantara 550 anggota legislatif.  Hal ini yang menjadi pembelajaran dan evaluasi penting terhadap gerakan perempuan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam pemilu selanjutnya.[14] Dengan demikian, hal itu mengakibatkan munculnya gagasan untuk menerapkan sistem zipper  dengan campuran tindakan afirmatif, sistem kuota dan aturan nomor urut dalam pemilu 2009 yang tertuang pada UU  No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Dengan sistem ini, caleg DPR RI mengalami peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dari 32,3% menjadi 34,7%.[15] Walaupun masih  terdapat  parpol yang menempatkan caleg perempuan pada angka terbawah dalam  kelipatan  tiga dan keterwakilan perempuan di DPR pada tahun 2009 hanya mencapai 17,9%. Setelah itu, usaha keterwakilan perempuan ditingkatkan di parlemen pada tahun 2014 dengan munculnya keberadaan UU  No. 8 Tahun 2012 dan  PKPU No. 7 Tahun 2013. UU dan PKPU tersebut berhasil memaksa parpol untuk memenuhi kuota 30% dalam caleg mereka. Jika tidak, maka parpol tidak bisa mengikuti pemilu daerah pemilihan yang bersangkutan karena mengingat peraturan tersebut telah disetujui DPR.

 

Lahirnya undang-undang yang mendukung tindakan afirmatif diharapkan akan memberikan  ruang bagi perempuan Indonesia untuk terlibat aktif dalam kegiatan proses politik. Peningkatan angka kuantitatif menjadi titik awal bagi perubahan perempuan dalam bidang politik. Strategi kuantitatif memang sebenarnya belum menjamin perempuan dapat berperan di bidang politik, strategi kuantitatif ini juga perlu didukung oleh peningkatan kualitatif untuk mengisi kuota tersebut. Karena partisipasi perempuan di bidang politik dilihat hanya sebagai obyek ataupun penggembira karena minimnya pengetahuan perempuan di bidang politik.

 

Peningkatan kualitas sumber daya perempuan bisa melalui pendidikan politik bagi perempuan  yang berorientasi untuk maju secara berkelanjutan  dengan memiliki visi dan misi serta memiliki kekuataan sendiri untuk memiliki karakter yang kuat dalam  kiprah politiknya. Pendidikan  ini menjadi bekal untuk menciptakan kebijakan yang tidak merugikan perempuan dan melalui pendidikan ini diharapkan perempuan mampu memperbaiki kualitasnya[16], sehingga kesempatan para perempuan untuk menjadi bagian legislatif ataupun di ranah publik tidak diragukan dan didiskiriminasi lagi dengan alasan gender.

  

Kesimpulan

 

Partisipasi politik perempuan merupakan bentuk keterlibatan yang penting demi menciptakan kesetaraan gender di bidang politik. Tetapi, sayangnya banyak sekali hambatan perempuan dalam memasuki ruang perpolitikan di Indonesia. Masalah diskriminasi gender dan lemahnya representasi perempuan dalam politik membuat tidak terwakilnya kepentingan perempuan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan politik serta kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Dengan demikian, cara untuk menguatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam bidang politik ialah dengan mewujudkan kehadiran tindakan afirmatif mengenai kuota 30% yang bisa mengakibatkan peningkatan kuantitas perempuan dalam beraktivitas politik. Tindakan afirmatif yang diusung oleh aktivis perempuan menjadi awal tonggak perubahan representasi perempuan di dalam kegiatan politik. Tindakan ini tentu bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Lalu, tindakan afirmatif ini perlu dilakukan karena perempuan memiliki kesempatan dan kapasitas yang sama dalam berpartisipasi di bidang politik. Selain memperjuangkan peningkatan kuantitatif keterwakilan perempuan  30% di ranah politik. Tentunya, para perempuan perlu peningkatan yang tidak hanya bersifat kuantitatif melainkan juga kualitatif. Diharapkan dengan meningkatnya kualitas perempuan di ranah politik bisa membawa aspirasi perempuan dan perubahan politik Indonesia yang lebih baik lagi. Dan para perempuan di Indonesia tidak diragukan lagi kualitasnya dalam menjalani aktivitas politik. Penulis berharap semoga tulisan ini memberikan pandangan baru bagi pembaca yang mana pemaparan ini sangat jauh dari kata sempurna. Sehingga masukan berupa koreksi dan saran yang diterima akan sangat berguna bagi penulis untuk terus memperbaiki kualitas tulisannya.

 
  
 

[1] Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Sebuah Keharusan. 2016. https://kpu-kedirikota.go.id/2016/06/02/5370/.

   

[2]Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. 1999, hlm 174.

   

[3] Purwanti, Ani. 20015. Jurnal Partisipasi Perempuan Pada Lembaga Legislatif Tahun 2014-2019 Di Provinsi Jawa Timur.

   

[4] Risnawati, Dwi. 2016. Partisipasi dan Sosialisasi Politik dalam Kehidupan Politik Manusia. Diambil dari https://www.kompasiana.com/dwirisnawati/partisipasi-dan-sosialisasi-politik-dalam-kehidupan-politik-manusia_585942f38523bd4921129584. Diakses pada 30/05/2018 pukul 02:22.

   

[5] Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Gramedia

   

[6] Policy Brief. 2012. Perempuan Anggota Parlemen dan Proses Pembuatan Kebijakan di DPR RI. Women Research Institute.

   

[7] Dewi, Herita. 2016. "Perempuan dan Politik Dalam Perspektif Kesetaraan Gender. Diambil dari http://www.sumbarprov.go.id/details/news/8277.

   

[8] Dewi, Herita. 2016. "Perempuan dan Politik Dalam Perspektif Kesetaraan Gender. Diambil dari http://www.sumbarprov.go.id/details/news/8277.

   

[9] Komnas perempuan (2010), "In the Name of Regional Autonomy: Institutionalization of Discrimination in the State Structure of Indonesia, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia," Komnas Perempuan, 2010.

   

[10] Abbas. 2006. Idealisme Perempuan Indonesia dan Amerika. Makassar: Eramedia

   

[11] Valentina, R. 2003. Apa Sesungguhnya Substansi Kuota 30%?. Diambil dari http://www.institutperempuan.or.id/?p=17.

   

[12] Afirmasi, Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis Vol.01, Oktober 2011. Women Research Institute.

   

[13] Juwito, dan Syfa Syarifa A. 2009. Pola Komunikasi Politik Perempuan dalam Pemilu, Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 01 No. 02.

   

[14] Ringkasan Laporan Penelitan Perempuan dan Politik (Sistem Kuota dan Zipper  System).  Women Research Institute.

   

[15] Ringkasan Laporan Penelitan Perempuan dan Politik (Sistem Kuota dan Zipper  System).  Women Research Institute.

   

[16] Inwantoro, Totok. Faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat partisipasi politik perempuan pada pemilu legislatif DPRD Kabupaten Mojokerto 2014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Diponegoro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun